Selasa, 13 Desember 2011

makalah “ MASALAH PENDIDIKAN DAN CARA PENANGGULANGANNYA “


TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN
“ MASALAH PENDIDIKAN DAN CARA PENANGGULANGANNYA “
DOSEN PEMBIMBING : Prof.Dr.Yohanes Bahari,M.Si

MAKALAH
Disusun Oleh :
HARDI
F01110023

PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2010
 KETERBATASAN EKONOMI FAKTOR UTAMA
                               ANAK/REMAJA PUTUS SEKOLAH

1.     Pembahasan Masalah
         Keterjangkauan pendidikan bagi seluruh komponen masyarakat yang tidak terbatas pada gender, strata sosial, maupun status ekonomi telah menjadi komitmen pemerintah sejak digulirkannya kemerdekaan puluhan tahun lalu dan hingga sekarang komitment itu tentu tidak berubah. Bahkan dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia hingga saat ini pemerintah selalu berupaya melakukan berbagai peningkatkan baik dalam pendanaan, fasilitas infrastruktur, tenaga pendidik, serta kurikulum.
       Bagi negara berkembang, isu mengenai keterbatasan akses pendidikan yang dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi masih akan terus menjadi wacana yang hangat dalam beberapa dekade kedepan. Hal ini tentunya erat kaitannya dengan kondisi masyarakat yang ada saat ini. Tak dapat disangkal wacana ini memang menjadi perhatian serius baik bagi pemerintah, masyarakat, maupun pemangku kepentingan terkait. Tapi akan menjadi pemahaman yang salah bila ketidakterjangkauan biaya pendidikan dipahami sebagai bentuk dikotomi atas akses pendidikan bagi kalangan tertentu saja.
           Pada masa sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, dimana dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan sangatlah penting peranannya. Orang-orang berlomba untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin untuk mengejar tehknologi yang semakin canggih. Tetapi disisi lain ada sebagian masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak baik dari strata tingkat dasar sampai jenjang yang lebih tinggi. Selain itu ada juga sebagian masyarakat yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar namun pada akhirnya putus sekolah juga.
                  Berdasarkan fakta yang konkret, bahwa setiap anak yang telah memasuki usia balita atau berusia sekitar 7 tahun akan membutuhkan pendidikan, baik itu pendidikan di dalam rumah tangga maupun dalam lingkungan yang formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan masyarakat, pendidikan tidak hanya didapat melalui pendidikan formal atau yang sering disebut sekolah, tetapi pendidikan juga didapat dalam lingkungan informal yang bersumber dari keluarga dan lingkungan. Pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan mendidik, pendidikan dapat pula diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat.
                    Pendidikan formal memang bukan segala-galanya, tapi nyatanya tingkat pendidikan berpengaruh pada peluang bekerja, posisi dibidang bekerja, tingkat salary, dan fasilitas yang dapat dinikmati, selain itu pendidikan juga memerlukan perilaku individu dalam rumah tangga, tanggungjawab sosial.
         Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia secara keseluruhan, setiap manusia berhak mendapatkan atau memperoleh pendidikan, baik secara formal, informal, maupun nonformal, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki mental, akhlak, moral, dan fisik yang kuat serta menjadi manusia yang berbudaya tinggi dalam melaksanakan tugas, tugas, kewajiban, dan tanggungjawabnya didalam masyarakat.
                  Namun ketika melihat kenyataan dalam melaksanakan, khususnya mereka yang berada di Desa Sengawang Kecamatan Teluk Keramat Kabupaten Sambas, ternyata kebanyakan anak-anak remaja, mereka banyak yang putus sekolah dan memilih bekerja untuk membantu orang tua dalam menambah penghasilan orang tuanya. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya remaja putus sekolah di desa sengawang kecamatan teluk keramat kabupaten sambas. Adapun faktor-faktor penyebab banyaknya anak dan remaja putus sekolah di desa tersebut sebagai akibat kegagalan pendidikan adalah kurangnya sarana dan prasarana pendidikan srta kurangnya mutu pendidikan.
           Faktor lain yang menyebabkan banyaknya anak dan remaja putus sekolah adalah kurangnya ikhwal serta peranan orang tua dan juga banyaknya pengaruh lingkungan sosial. Selain itu ada 3 permasalahan pokok yang menyebabkan banyaknya anak dan remaja rawan DO/putus sekolah,sebagai berikut :
Ø  Kurangnya perhatian / pengawasan orang tua terhadap kegiatan belajar anak di rumah.
Ø  Figur orang tua yang senantiasa melihat keberhasilan seseorang dari ukuran yang praktis dan pragmatis. Artinya dimata orang tua yang terpenting adalah si anak dapat cepat bekerja dan mencari uang sendiri.
Ø  Kesadaran akan kebutuhan belajar anak kurang.
          Sedangkan   faktor lain di luar faktor keluarga adalah masalah lingkungan sosial masyarakat desa, dimana sudah menjadi rahasia umum lulusan SMP banyak anak yang tidak melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan atas ( SMA ) atau bahkan ke perguruan tinggi, tetapi mereka lebih memilih untuk mencari kerja. Disamping itu faktor lain yang juga merupakan penyebab banyaknya anak dan remaja putus sekolah di desa sengawang kecamatan teluk keramat yang pada akhirnya akan terjadi kegagalan pendidikan adalah masalah lingkungan sekolah, yang mana di sekitar kecamatan tersebut jumlah sekolah yang relatif kurang. Faktor lain yaitu jarak antara rumah dan sekolah relatif jauh, sehingga kebanyakan remaja mengatakan kepada orang tuanya mereka ke sekolah tetapi ternyata mereka tidak sampai di sekolah. Meskipun hal ini jarang terjadi namun kadang-kadang dapat mempengaruhi remaja untuk tidak masuk sekolah dan akhirnya tidak lagi melanjutkan  sekolahnya atau dengan kata lain mereka telah putus sekolah.
         Adapun masalah  keterbatasan dan kurangnya dorongan dari orang tua murid juga termasuk penyebab banyaknya remaja putus sekolah sehingga menyebabkan mutu pendidikan menjadi rendah dan akhirnya terjadi kegagalan. Kesibukan orang tua yang sangat padat, sampai-sampai tidak ada waktu juga untuk mengetahui serta membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh anak-anaknya di sekolah. Disamping itu tidak jarang pula terjadi akibat orang tua itu sendiri yang ternyata adalah sama sekali tidak pernah mengenal bangku sekolah, sehingga wajar jika mereka tidak mampu mendampingi anak-anaknya ketika mengerjakan PR di rumah.
         Kasus siswa atau remaja yang tinggal kelas atau bahkan putus sekolah dan prestasi balajar buruk / kurang bukan semata karena pengaruh TV. Memang diakui sebagian anak atau remaja putus sekolah akibat pengaruh TV, namun ada faktor lain seperti faktor psikologis anak itu sendiri dalam banyak hal juga berpengaruh. Misalnya, ada siswa yang bersikap cuek / acuh tak acuh dalam menerima mata pelajaran dan mengerjakan PR, dan bahkan bersikap acuh terhadap penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh guru, justru murid sepertinya tampak gembira kalau guru menyatakan bahwa hari ini tidak ada pelajaran / kosong.
         Kurangnya waktu belajar yang cukup buat remaja / anak sekolah pada akhirnya membuat mereka kelabakan sendiri jika PR dari sekolah. Bisa dikatakan bahwa anak-anak cenderung akan belajar hanya jika ada Prnya saja. Jangankan belajar untuk materi yang akan datang, materi yang sudah diajarkan saja tidak jarang anak-anak tidak belajar untuk mengulangnya lagi.
           Seperti halnya soal standarisasi untuk menentukan seorang siswa layak atau tidak naik kelas, masalah pemberian sanksi bagi siswa yang tidak mengerjakan PR. Bagi seorang guru adalah sesuatu yang sangat dilematis. Di satu sisi jika guru bertindak lunak, tetapi di sisi lain jika guru bertindak kasar, mungkin siswa yang bersangkutan akan malas dan tidak masuk sekolah, atau bahkan pada akhirnya siswa tersebut lebih memilih untuk tidak lanjut lagi dan akhirnya mereka putus sekolah.
          Di samping itu, para guru umumnya juga menyadari bahwa unttuk siswa yang sehari-harinya merangkap antara belajar dan bekerja, entah itu di rumah atau bekerja di sekitar publik, faktor kelelahan fisik juga sangat mempengaruhi stamina siswa untuk dapat belajar dengan baik.
           Walaupun di sadari bahwa faktor-faktor di atas bukanlah satu-satunya faktor penyebab banyaknya remaja putus sekolah, namun faktor kemiskinan dalam banyak hal dipandang sebagai kondisi yang sifatnya sanga struktural, yang artinya bahwa masalah ekonomi memiliki peranan besar dalam memberikan kesempatan kepada anak-anak dari keluarga yang secara kanyataan  memiliki ekonomi yang relatif kurang / keluarga miskin.
           Seperti diketahui bahwa pada keluarga miskin di Desa Sengawang Kecamatan Teluk Keramat, umumnya masyarakat berpenghasilan yang relatif kurang. Dimana hal ini hanya cukup untuk keperluan sehari-hari / pas-passan, sekedar cukup untuk hidup dan makan saja. Kalau kemudian keluarga tersebut memaksakan diri untuk menyekolahkan anaknya secara penuh, maka dampak yang paling mereka rasakan , bukan pada biaya yang harus mereka tanggung untuk membiayai keperluan sekolah, tetapi yang justru mereka rasakan sangat berat adalah kemungkinan mereka akan kehilangan satu sumber penghasilan keluarga yang produktif yang selama ini disumbangkan oleh pekerjaan anak itu bagi orang tuanya.
           Untuk mengatasi persoalan tersebut, biasanya setiap orang tua yang memiliki ekonomi lemah / miskin mengambil 2 pilihan untuk menjembatani dua kepentingan yang bertolak belakang, yaitu keinginan untuk menyekolahkan anak dan keharusan anak untuk bekerja denmi membantu penghasilan orang tua.
          Itulah faktor-faktir yang menyebabkan banyak anak dan remaja putus sekolah di Desa Sengawang Kecamatan Teluk Keramat Kabupaten Sambas. Contoh tersebut hanya sedikit contoh dari jutaan anak-anak di Indonesia yang terancam bahkan tidak bisa melanjutkan sekolah karena kesulitan ekonomi, padahal melalui pendidikan, mereka berpotensi menggapai impian dan cita-citanya, serta dapat mengubah taraf hidup diri dan keluarganya.
          Data departemen pendidikan nasional mencatat, dari 25.982.000 siswa tingkat SD pada tahun ajaran 2005/2006, jumlah siswa yang putus sekolah mencapai 824.684 anak, sedangkan untuk tingkat SMP, dari 8.073.086 siswa, jumlah anak yang putus sekolah sebanyak 148.890 anak. Keterbatasan ekonomi memang menjadi faktor utama anak putus sekolah, dan jumlah tersebut terus bertambah setiap tahunnya.
               Dari 33 kantor komnas perlindungan anak di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah        pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah tersebut pasti sudah bertumbuh lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Lihatlah pada tahun 2006, jumlah keseluruhan anak putus sekolah di Indonesia masih sekitar 9,7 juta anak, namin setahun kemudian sudah bertambah 20 % manjadi 11,7 jiwa.
              Bayangkan, gairah belajar hampir 12 juta anak terpaksa dipadamkan dan hampir 12 juta harapan yang melambung terjun bebas dan kandas di dataran realitas yang keras. Ini bencana nasional dengan implikasi yang sangat luas. Fakta ini sangat bertolak belakang dengan agenda nasional beberapa tahun lalu. Betapa anak-anak itu dan orang tua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi, supaya mereka mau bersekolah. Tahu-tahunya  sekarang mereka harus meninggalkan bangku sekolah.
             Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negri ini. Menurut sekjen komnas perlindungan anak, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi ditingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun ditingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan usia pubertas jumlahnya mencapai 77 %.
            Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang. Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih harus terus bersekolah, dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang gagah dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat...!!
         Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan cara apapun. Menurut catatan Komnas perlindungan anak Indonesia, tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak. Bukan Cuma itu, anak-anak yang hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan yang terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah dua titik lemah para remaja yang masih labil itu, sehingga mereka bisa dibujuk dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal.
           Pola, siklus, atau lingkaran kehidupan seperti inilah yang terus terjadi. Akibatnya, orang miskin tetap miskin, bahkan terus bertambah miskin. Pencerdasan bangsa adalah jawabannya. Dengan anggaran pendidikan yang jauh dari ideal sebesar 20 % APBN, kita tidak bisa hanya bergantung pada penerintah.
          Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas, setelah melihat potret jelek itu, bersyukurlah, karena karena anda masih normal dan memiliki moral yang tinggi, dan bersyukurlah, karena bukan anda atau kerabat anda yang hari ini terpaksa putus sekolah.
        Anak-anak itu ada di sekitar kita. Mungkin beberapa diantaranya adalah tetangga anda, dan siapa tahu, salah seorang diantaranya masih keluarga anda, tapi mungkin berada di tempat yang jauh. Yang pasti, mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang besar ini.
       Sepatutnya kita tidak bersikap masa bodoh, dan berdalih bahwa itu tanggungjawab pemerintah. Tapi paling tidak ada diantara kita yang tersentuh dan ingin ikut membantu berandil pada perbaikan rakyat, bangsa, dan negara ini. Banyak orang lain yang peduli dan mendedikasikan hidupnya untuk membantu mereka yang kurang beruntung.
       Jadi, jangan bilang kita, anda, tidak sanggup membantu. Sedikit kepedulian kita, sangat besar artinya bagi mereka,baik itu dengan membantu dorongan moral dan sedikit menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan bagi kehidupan. Dan juga berikanlah rasa iba kita kepada mereka karena mereka bagian dari anak-anak bangsa ini yang setidaknya bisa mendapatkan  kesempatan mengenyam dunia pendidikan untuk masa depan yang lebih cerah.
Cara Penanggulangannya 
        Pada awal kemerdekaan, perhatian terhadap akses pendidikan bagi mereka yang kurang mampu telah sejak awal diprogramkan dengan bentuk pengadaan beasiswa dan itu pun sampai saat ini kita ketahui juga masih berjalan bahkan dengan beragam bentuk fasilitas-fasilitas lain yang lebih variatif tentunya. Komitment pemerintah setidaknya tercermin dari penganggaran bagi pendidikan hingga 20% meskipun tindakan tersebut dapat dikatakan terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang lebih dulu mencurahkan perhatian yang lebih terhadap dunia pendidikan di negaranya.
Pada dasarnya tak ada yang salah dengan UUD 1945 dan tidak ada yang menghianati hak konstitusional. Terkadang banyak dari kita melupakan bentuk kewajiban sebagai syarat logis terpenuhinya hak yang akan didapat. Secara nyata bila calon peserta didik mampu membuktikan kompetensi yang dimiliki dan terpenuhinya tuntutan yang disyaratkan oleh penyelenggara pendidikan terkait maka bukan tidak mungkin akses pendidikan yang diimpikan akan teraih. Bagi kalangan yang secara ekonomi kurang mampu, akses itu akan masih dapat dinikmati dengan berbagai fasilitas beasiswa. Bukan cerita mimpi, banyak kalangan sukses berawal dari keterbatasan ekonomi.
         Pemerintah tentunya mempunyai tanggungjawab yang lebih, tetapi peran pihak-pihak lain tentunya juga turut dibutuhkan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional saat ini. Sesungguhnya yang patut disikapi saat ini adalah bagaimana membentuk bangsa yang berkarakter mantap, berkepribadian mulia, dan mampu berkompetisi di kancah global. Terlepas berbicara mengenai keterbatasan ekonomi, penataan mental kembali sepatutnya juga menjadi perhatian serius dan bukan lagi hal asing bahwa moralitas dan motivasi belajar menjadi sesuatu yang mulai langka pada jiwa peserta didik saat ini.
Maka cukuplah kita mengeluh dan mengumpat atas apa yang terjadi selama ini. Kita tidak akan mengalami kemajuan baik bagi diri sendiri maupun lingkungan bila hanya mengeluh dan terus menyalahkan tanpa bertindak nyata dan berkontribusi bagi kemajuan meski sebatas kemampuan kita masing.
          Persoalan putus sekolah memang cukup membuat kita miris. Kebanyakan adalah anak yang usia sekolah antara 6-18 tahun. Mereka berasal dari keluarga miskin. Anak usia sekolah dari keluarga miskin inilah yang potensial hengkang dari bangku sekolah sebelum mengantongi ijazah. Hal ini disebabkan keluarga miskin tidak mampu membiayai pendidikan yang menurutnya memberatkan. Disamping itu, cara pandang yang kurang  positif terhadap arti pendidikan bagi kehidupan masih terdapat pada beberapa keluarga dan masyarakat miskin yang pada umumnya berpendidikan rendah. Disamping itu terdapat kenyataan bahwa akibat sosial ekonomi yang miskin akan mendorong anak usia sekolah SD dan SMP terpaksa bekerja membantu kehidupan keluarga. Untuk daerah terpencul terhambat adanya perhubungan yang terbatas sehingga masayarakatnya sukar dijangkau pelayanan pendidikan.
         Adapun cara yang dapat ditempuh guna menekan angka pelajar putus sekolah tersebut serendah mungkin adalah pemerintah cukup memberikan perhatian kepada sektor pendidikan. Salah satu indikasinya adalah dengan alokasi anggaran pendidikan yang besar terhadap sektor ini. Program lain adalah beasiswa yang diberikan pemerintah. Bahkan termasuk pihak swasta juga banyak memberi program serupa. Namun program beasiswa ini dinilai masih memiliki kelemahan sehingga tidak sampai. Tidak hanya secara informasi, tetapi juga secara manfaat. Pasalnya, terkadang banyak beasiswa yang diberikan jusru kepada siswa yang tidak hanya mampu secara akademis (pandai), tapi juga mampu secara finansial.Ada problem dalam mekanisme beasiswa kita, yakni tentang sistem perumusan pemberian beasiswa itu sendiri. Selama ini, program beasiswa masih dilihat secara aktual, yakni syarat penerimaan beasiswa hanya didasarkan pada hasil akademis siswa bersangkutan.Padahal, umumnya orang-orang yang pandai itu biasanya dari kalangan ekonomi berkelas. Boleh saja mereka orang yang mampu secara akademis dan finansial diberikan beasiswa, tapi jangan disamakan jumlah beasiswanya dengan siswa miskin namun berpotensi berprestasi. Mekanisme beasiswa seharusnya, beasiswa tidak hanya menyasar atau diukur pada kemampuan hasil akademis, melainkan mulai pada siswa-siswa yang memiliki potensi berprestasi. Artinya, murid-murid yang memiliki prestasi yang tidak terlalu menonjol tapi dia memiliki keterbatasan ekonomi dan memiliki keinginan kuat melanjutkan sekolah. Dengan pemberian beasiswa kepada anak-anak yang memiliki potensi untuk menonjol tapi memiliki keterbatasan ekonomi ini, diharapkan bisa menjadi motivasi untuk terus belajar dan bersekolah. Nantinya dievaluasi, hingga si anak benar-benar mencapai batas yang diinginkan oleh pemberi beasiswa. Tidak hanya problem di perumusan penerima beasiswa. Dalam memberikan beasiwa juga harus dilakukan secara mudah. Sehingga siswa penerima beasiswa benar-benar total belajar, baik bentuk uang ataupun pembebasan biaya pendidikan bagi mereka, lengkap dengan perlengkapan yang dibutuhkan.Juga harus ada mekanisme pelaporan dari penerima, atas apa yang dilakukan atas uang tersebut. Kadang, ada uang beasiswa justru dikirimkan ke rumah untuk biaya adik-adik atau tambahan biaya hidup keluarga.
          Program lainnya adalah dengan program SD,SMP satu atap. Dengan menjadikan SD dan SMP satu atap diharapkan akan dapat menanggulangi faktor jarak tempuh yang juga menjadi faktor penyebab banyak anak dan remaja putus sekolah. Dengan program ini biaya dan transportasi, pemondokan, dan akomodasi menjadi terpotong, sehingga lebih menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya.proses belajar mengajar juga harus menjadi perhatian. Menciptakan proses belajar mengajar yang nyaman dan lancar bagi siswa miskin memang tidak mudah.
          Intinya adalah harus ada kesadaran pembelajaran semua komponen yang terlibat di dalam  proses  pendidikan itu. Teristimewa guru dan manajemen sekolah disamping pemerintah. Merekalah ujung tombak yang dituntut memiliki visi dan orientasi lebih besar dalam “kerja besar” menanggulangi masalah putus sekolah ini. Sedangkan masyarakat ( orang tua murid ) dan siswa terutama yang miskin adalah pihak yang harus dirangkul  karena mereka berpotensi rentan hengkang dari program pendidikan ini dengan berbagai alasan. Tumbuhnya kesadaran keluarga miskin untuk menyerahkan anaknya ke sekolah harus dilihat sebagai poin penting dalam upaya penanggulangan putus sekolah. Dibalik itu harus disadari peliknya persoalan yang dihadapi masyarakat. Tidak hanya faktor kemiskinan, ekonomi dan biaya. Banyak sensitivitas lain yang perlu diselami, sebagai dampak dari kemiskinan itu. Rasa rendah diri, kemalasan, kurangnya wawasan soal pentingnya pendidikan, hambatan komunikasi dengan dunia sekolah, dan lain-lain., menuntut perhatian besar kita. Harus dilihat realita di lapangan apa adanya. Di daerah yang masyarakatnya atau kurang pemahaman soal pentingnya pendidikan, persoalan penuntasan wajib belajar tentu tidak mudah. Jangan berharap input sumber daya manusia yang secara mental siap dididik. Yang  bebal pun harus diterima. Poin pentingnya adalah bagaimana menjadikan anak yang potensial terpinggirkan dan dunia sekolah menjadi terangkul dalam pendidikan. Bukan justru menjadikan potensi-potensi itu tambah terlempar, menjadi ketakutan sekolah dan memperbesar angka putus sekolah.
Penutup
Kesimpulan
        Dengan adanya keseriusan dan kesigapan dari pemerintah dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti halnya kebijakan dana bantuan operasional sekolah ( BOS ) untuk mengurangi jumlah anak yang putus sekolah, maka angka yang putus sekolah akan dapat ditekan. Disamping itu peranan dari pihak sekolah dan pihak orang tua dalam menekan jumlah anak yang putus sekolah juga sangat diperlukan dan berpengaruh akan jumlah anak yang putus sekolah.  
Saran
         Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah, pihak sekolah, maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus sekolah.
   


DAFTAR PUSTAKA
HYPERLINK "http://www.seurunifoundimg.com" www.seurunifoundimg.com
HYPERLINK "http://www.wordpress.com" www.wordpress.com
HYPERLINK "http://www.pontianakpost.com" www.pontianakpost.com
HYPERLINK "http://www.hariantribune.com" www.hariantribune.com














Tidak ada komentar:

Posting Komentar