TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH PENGANTAR
PENDIDIKAN
“
MASALAH PENDIDIKAN DAN CARA PENANGGULANGANNYA “
DOSEN
PEMBIMBING : Prof.Dr.Yohanes Bahari,M.Si
MAKALAH
Disusun
Oleh :
HARDI
F01110023
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2010
KETERBATASAN EKONOMI FAKTOR UTAMA
ANAK/REMAJA PUTUS SEKOLAH
1. Pembahasan Masalah
Keterjangkauan
pendidikan bagi seluruh komponen masyarakat yang tidak terbatas pada gender,
strata sosial, maupun status ekonomi telah menjadi komitmen pemerintah sejak
digulirkannya kemerdekaan puluhan tahun lalu dan hingga sekarang komitment itu
tentu tidak berubah. Bahkan dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia
hingga saat ini pemerintah selalu berupaya melakukan berbagai peningkatkan baik
dalam pendanaan, fasilitas infrastruktur, tenaga pendidik, serta kurikulum.
Bagi
negara berkembang, isu mengenai keterbatasan akses pendidikan yang
dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi masih akan terus menjadi wacana yang
hangat dalam beberapa dekade kedepan. Hal ini tentunya erat kaitannya dengan
kondisi masyarakat yang ada saat ini. Tak dapat disangkal wacana ini memang
menjadi perhatian serius baik bagi pemerintah, masyarakat, maupun pemangku
kepentingan terkait. Tapi akan menjadi pemahaman yang salah bila
ketidakterjangkauan biaya pendidikan dipahami sebagai bentuk dikotomi atas
akses pendidikan bagi kalangan tertentu saja.
Pada
masa sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, dimana dalam
memasuki era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan sangatlah penting
peranannya. Orang-orang berlomba untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi
mungkin untuk mengejar tehknologi yang semakin canggih. Tetapi disisi lain ada
sebagian masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak baik dari
strata tingkat dasar sampai jenjang yang lebih tinggi. Selain itu ada juga
sebagian masyarakat yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar namun pada
akhirnya putus sekolah juga.
Berdasarkan fakta yang konkret, bahwa
setiap anak yang telah memasuki usia balita atau berusia sekitar 7 tahun akan
membutuhkan pendidikan, baik itu pendidikan di dalam rumah tangga maupun dalam
lingkungan yang formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan
masyarakat, pendidikan tidak hanya didapat melalui pendidikan formal atau yang
sering disebut sekolah, tetapi pendidikan juga didapat dalam lingkungan
informal yang bersumber dari keluarga dan lingkungan. Pendidikan dapat
diartikan sebagai perbuatan mendidik, pendidikan dapat pula diartikan sebagai
usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya
masyarakat.
Pendidikan formal memang
bukan segala-galanya, tapi nyatanya tingkat pendidikan berpengaruh pada peluang
bekerja, posisi dibidang bekerja, tingkat salary, dan fasilitas yang dapat
dinikmati, selain itu pendidikan juga memerlukan perilaku individu dalam rumah
tangga, tanggungjawab sosial.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia
secara keseluruhan, setiap manusia berhak mendapatkan atau memperoleh
pendidikan, baik secara formal, informal, maupun nonformal, sehingga pada
gilirannya ia akan memiliki mental, akhlak, moral, dan fisik yang kuat serta
menjadi manusia yang berbudaya tinggi dalam melaksanakan tugas, tugas,
kewajiban, dan tanggungjawabnya didalam masyarakat.
Namun ketika melihat
kenyataan dalam melaksanakan, khususnya mereka yang berada di Desa Sengawang
Kecamatan Teluk Keramat Kabupaten Sambas, ternyata kebanyakan anak-anak remaja,
mereka banyak yang putus sekolah dan memilih bekerja untuk membantu orang tua
dalam menambah penghasilan orang tuanya. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya
remaja putus sekolah di desa sengawang kecamatan teluk keramat kabupaten
sambas. Adapun faktor-faktor penyebab banyaknya anak dan remaja putus sekolah
di desa tersebut sebagai akibat kegagalan pendidikan adalah kurangnya sarana
dan prasarana pendidikan srta kurangnya mutu pendidikan.
Faktor lain yang menyebabkan banyaknya
anak dan remaja putus sekolah adalah kurangnya ikhwal serta peranan orang tua
dan juga banyaknya pengaruh lingkungan sosial. Selain itu ada 3 permasalahan
pokok yang menyebabkan banyaknya anak dan remaja rawan DO/putus sekolah,sebagai
berikut :
Ø Kurangnya perhatian / pengawasan orang tua
terhadap kegiatan belajar anak di rumah.
Ø Figur orang tua yang senantiasa melihat
keberhasilan seseorang dari ukuran yang praktis dan pragmatis. Artinya dimata
orang tua yang terpenting adalah si anak dapat cepat bekerja dan mencari uang
sendiri.
Ø Kesadaran akan kebutuhan belajar anak kurang.
Sedangkan faktor lain di luar
faktor keluarga adalah masalah lingkungan sosial masyarakat desa, dimana sudah
menjadi rahasia umum lulusan SMP banyak anak yang tidak melanjutkan
pendidikannya ke sekolah lanjutan atas ( SMA ) atau bahkan ke perguruan tinggi,
tetapi mereka lebih memilih untuk mencari kerja. Disamping itu faktor lain yang
juga merupakan penyebab banyaknya anak dan remaja putus sekolah di desa
sengawang kecamatan teluk keramat yang pada akhirnya akan terjadi kegagalan
pendidikan adalah masalah lingkungan sekolah, yang mana di sekitar kecamatan
tersebut jumlah sekolah yang relatif kurang. Faktor lain yaitu jarak antara rumah
dan sekolah relatif jauh, sehingga kebanyakan remaja mengatakan kepada orang
tuanya mereka ke sekolah tetapi ternyata mereka tidak sampai di sekolah.
Meskipun hal ini jarang terjadi namun kadang-kadang dapat mempengaruhi remaja
untuk tidak masuk sekolah dan akhirnya tidak lagi melanjutkan sekolahnya atau dengan kata lain mereka telah
putus sekolah.
Adapun
masalah keterbatasan dan kurangnya
dorongan dari orang tua murid juga termasuk penyebab banyaknya remaja putus
sekolah sehingga menyebabkan mutu pendidikan menjadi rendah dan akhirnya
terjadi kegagalan. Kesibukan orang tua yang sangat padat, sampai-sampai tidak
ada waktu juga untuk mengetahui serta membantu menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi oleh anak-anaknya di sekolah. Disamping itu tidak jarang pula terjadi
akibat orang tua itu sendiri yang ternyata adalah sama sekali tidak pernah
mengenal bangku sekolah, sehingga wajar jika mereka tidak mampu mendampingi
anak-anaknya ketika mengerjakan PR di rumah.
Kasus
siswa atau remaja yang tinggal kelas atau bahkan putus sekolah dan prestasi
balajar buruk / kurang bukan semata karena pengaruh TV. Memang diakui sebagian
anak atau remaja putus sekolah akibat pengaruh TV, namun ada faktor lain
seperti faktor psikologis anak itu sendiri dalam banyak hal juga berpengaruh.
Misalnya, ada siswa yang bersikap cuek / acuh tak acuh dalam menerima mata
pelajaran dan mengerjakan PR, dan bahkan bersikap acuh terhadap
penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh guru, justru murid sepertinya tampak
gembira kalau guru menyatakan bahwa hari ini tidak ada pelajaran / kosong.
Kurangnya
waktu belajar yang cukup buat remaja / anak sekolah pada akhirnya membuat
mereka kelabakan sendiri jika PR dari sekolah. Bisa dikatakan bahwa anak-anak
cenderung akan belajar hanya jika ada Prnya saja. Jangankan belajar untuk
materi yang akan datang, materi yang sudah diajarkan saja tidak jarang
anak-anak tidak belajar untuk mengulangnya lagi.
Seperti
halnya soal standarisasi untuk menentukan seorang siswa layak atau tidak naik
kelas, masalah pemberian sanksi bagi siswa yang tidak mengerjakan PR. Bagi
seorang guru adalah sesuatu yang sangat dilematis. Di satu sisi jika guru
bertindak lunak, tetapi di sisi lain jika guru bertindak kasar, mungkin siswa
yang bersangkutan akan malas dan tidak masuk sekolah, atau bahkan pada akhirnya
siswa tersebut lebih memilih untuk tidak lanjut lagi dan akhirnya mereka putus
sekolah.
Di
samping itu, para guru umumnya juga menyadari bahwa unttuk siswa yang
sehari-harinya merangkap antara belajar dan bekerja, entah itu di rumah atau
bekerja di sekitar publik, faktor kelelahan fisik juga sangat mempengaruhi
stamina siswa untuk dapat belajar dengan baik.
Walaupun di sadari bahwa faktor-faktor di atas bukanlah satu-satunya
faktor penyebab banyaknya remaja putus sekolah, namun faktor kemiskinan dalam
banyak hal dipandang sebagai kondisi yang sifatnya sanga struktural, yang
artinya bahwa masalah ekonomi memiliki peranan besar dalam memberikan
kesempatan kepada anak-anak dari keluarga yang secara kanyataan memiliki ekonomi yang relatif kurang /
keluarga miskin.
Seperti diketahui bahwa pada keluarga miskin di Desa Sengawang Kecamatan
Teluk Keramat, umumnya masyarakat berpenghasilan yang relatif kurang. Dimana
hal ini hanya cukup untuk keperluan sehari-hari / pas-passan, sekedar cukup
untuk hidup dan makan saja. Kalau kemudian keluarga tersebut memaksakan diri
untuk menyekolahkan anaknya secara penuh, maka dampak yang paling mereka
rasakan , bukan pada biaya yang harus mereka tanggung untuk membiayai keperluan
sekolah, tetapi yang justru mereka rasakan sangat berat adalah kemungkinan
mereka akan kehilangan satu sumber penghasilan keluarga yang produktif yang
selama ini disumbangkan oleh pekerjaan anak itu bagi orang tuanya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, biasanya setiap orang tua yang
memiliki ekonomi lemah / miskin mengambil 2 pilihan untuk menjembatani dua
kepentingan yang bertolak belakang, yaitu keinginan untuk menyekolahkan anak
dan keharusan anak untuk bekerja denmi membantu penghasilan orang tua.
Itulah faktor-faktir yang menyebabkan banyak anak dan remaja putus
sekolah di Desa Sengawang Kecamatan Teluk Keramat Kabupaten Sambas. Contoh
tersebut hanya sedikit contoh dari jutaan anak-anak di Indonesia yang terancam
bahkan tidak bisa melanjutkan sekolah karena kesulitan ekonomi, padahal melalui
pendidikan, mereka berpotensi menggapai impian dan cita-citanya, serta dapat
mengubah taraf hidup diri dan keluarganya.
Data departemen pendidikan nasional mencatat, dari 25.982.000 siswa
tingkat SD pada tahun ajaran 2005/2006, jumlah siswa yang putus sekolah
mencapai 824.684 anak, sedangkan untuk tingkat SMP, dari 8.073.086 siswa,
jumlah anak yang putus sekolah sebanyak 148.890 anak. Keterbatasan ekonomi
memang menjadi faktor utama anak putus sekolah, dan jumlah tersebut terus
bertambah setiap tahunnya.
Dari 33 kantor komnas
perlindungan anak di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7
juta jiwa. Jumlah tersebut pasti sudah bertumbuh lagi tahun ini, mengingat
keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.peningkatan jumlah anak putus
sekolah di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Lihatlah pada tahun 2006, jumlah
keseluruhan anak putus sekolah di Indonesia masih sekitar 9,7 juta anak, namin
setahun kemudian sudah bertambah 20 % manjadi 11,7 jiwa.
Bayangkan, gairah belajar hampir
12 juta anak terpaksa dipadamkan dan hampir 12 juta harapan yang melambung
terjun bebas dan kandas di dataran realitas yang keras. Ini bencana nasional
dengan implikasi yang sangat luas. Fakta ini sangat bertolak belakang dengan
agenda nasional beberapa tahun lalu. Betapa anak-anak itu dan orang tua mereka
dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi, supaya
mereka mau bersekolah. Tahu-tahunya
sekarang mereka harus meninggalkan bangku sekolah.
Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari
begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia
remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negri ini. Menurut sekjen komnas
perlindungan anak, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi
ditingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun ditingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan
prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan
usia pubertas jumlahnya mencapai 77 %.
Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini
tak kurang dari 8 juta orang. Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan
mencari identitas diri terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih harus
terus bersekolah, dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang
gagah dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat...!!
Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi
keluarga dengan cara apapun. Menurut catatan Komnas perlindungan anak
Indonesia, tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan.
Sementara pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut
sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak. Bukan Cuma itu, anak-anak yang
hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan yang
terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah
dua titik lemah para remaja yang masih labil itu, sehingga mereka bisa dibujuk
dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal.
Pola, siklus, atau lingkaran kehidupan seperti inilah yang terus
terjadi. Akibatnya, orang miskin tetap miskin, bahkan terus bertambah miskin.
Pencerdasan bangsa adalah jawabannya. Dengan anggaran pendidikan yang jauh dari
ideal sebesar 20 % APBN, kita tidak bisa hanya bergantung pada penerintah.
Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata
anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas, setelah melihat
potret jelek itu, bersyukurlah, karena karena anda masih normal dan memiliki
moral yang tinggi, dan bersyukurlah, karena bukan anda atau kerabat anda yang
hari ini terpaksa putus sekolah.
Anak-anak itu ada di sekitar kita.
Mungkin beberapa diantaranya adalah tetangga anda, dan siapa tahu, salah
seorang diantaranya masih keluarga anda, tapi mungkin berada di tempat yang
jauh. Yang pasti, mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang besar ini.
Sepatutnya kita tidak bersikap masa bodoh, dan berdalih bahwa itu
tanggungjawab pemerintah. Tapi paling tidak ada diantara kita yang tersentuh
dan ingin ikut membantu berandil pada perbaikan rakyat, bangsa, dan negara ini.
Banyak orang lain yang peduli dan mendedikasikan hidupnya untuk membantu mereka
yang kurang beruntung.
Jadi, jangan bilang kita, anda, tidak sanggup membantu. Sedikit
kepedulian kita, sangat besar artinya bagi mereka,baik itu dengan membantu
dorongan moral dan sedikit menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan bagi
kehidupan. Dan juga berikanlah rasa iba kita kepada mereka karena mereka bagian
dari anak-anak bangsa ini yang setidaknya bisa mendapatkan kesempatan mengenyam dunia pendidikan untuk
masa depan yang lebih cerah.
Cara Penanggulangannya
Pada awal kemerdekaan, perhatian terhadap akses pendidikan bagi mereka
yang kurang mampu telah sejak awal diprogramkan dengan bentuk pengadaan
beasiswa dan itu pun sampai saat ini kita ketahui juga masih berjalan bahkan
dengan beragam bentuk fasilitas-fasilitas lain yang lebih variatif tentunya.
Komitment pemerintah setidaknya tercermin dari penganggaran bagi pendidikan
hingga 20% meskipun tindakan tersebut dapat dikatakan terlambat bila
dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang lebih dulu mencurahkan
perhatian yang lebih terhadap dunia pendidikan di negaranya.
Pada dasarnya tak ada yang salah dengan UUD 1945 dan tidak ada yang menghianati hak konstitusional. Terkadang banyak dari kita melupakan bentuk kewajiban sebagai syarat logis terpenuhinya hak yang akan didapat. Secara nyata bila calon peserta didik mampu membuktikan kompetensi yang dimiliki dan terpenuhinya tuntutan yang disyaratkan oleh penyelenggara pendidikan terkait maka bukan tidak mungkin akses pendidikan yang diimpikan akan teraih. Bagi kalangan yang secara ekonomi kurang mampu, akses itu akan masih dapat dinikmati dengan berbagai fasilitas beasiswa. Bukan cerita mimpi, banyak kalangan sukses berawal dari keterbatasan ekonomi.
Pada dasarnya tak ada yang salah dengan UUD 1945 dan tidak ada yang menghianati hak konstitusional. Terkadang banyak dari kita melupakan bentuk kewajiban sebagai syarat logis terpenuhinya hak yang akan didapat. Secara nyata bila calon peserta didik mampu membuktikan kompetensi yang dimiliki dan terpenuhinya tuntutan yang disyaratkan oleh penyelenggara pendidikan terkait maka bukan tidak mungkin akses pendidikan yang diimpikan akan teraih. Bagi kalangan yang secara ekonomi kurang mampu, akses itu akan masih dapat dinikmati dengan berbagai fasilitas beasiswa. Bukan cerita mimpi, banyak kalangan sukses berawal dari keterbatasan ekonomi.
Pemerintah tentunya mempunyai
tanggungjawab yang lebih, tetapi peran pihak-pihak lain tentunya juga turut
dibutuhkan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional saat ini. Sesungguhnya
yang patut disikapi saat ini adalah bagaimana membentuk bangsa yang berkarakter
mantap, berkepribadian mulia, dan mampu berkompetisi di kancah global. Terlepas
berbicara mengenai keterbatasan ekonomi, penataan mental kembali sepatutnya
juga menjadi perhatian serius dan bukan lagi hal asing bahwa moralitas dan
motivasi belajar menjadi sesuatu yang mulai langka pada jiwa peserta didik saat
ini.
Maka cukuplah kita mengeluh dan mengumpat atas apa yang terjadi selama ini. Kita tidak akan mengalami kemajuan baik bagi diri sendiri maupun lingkungan bila hanya mengeluh dan terus menyalahkan tanpa bertindak nyata dan berkontribusi bagi kemajuan meski sebatas kemampuan kita masing.
Maka cukuplah kita mengeluh dan mengumpat atas apa yang terjadi selama ini. Kita tidak akan mengalami kemajuan baik bagi diri sendiri maupun lingkungan bila hanya mengeluh dan terus menyalahkan tanpa bertindak nyata dan berkontribusi bagi kemajuan meski sebatas kemampuan kita masing.
Persoalan putus sekolah memang cukup membuat kita miris. Kebanyakan
adalah anak yang usia sekolah antara 6-18 tahun. Mereka berasal dari keluarga
miskin. Anak usia sekolah dari keluarga miskin inilah yang potensial hengkang
dari bangku sekolah sebelum mengantongi ijazah. Hal ini disebabkan keluarga
miskin tidak mampu membiayai pendidikan yang menurutnya memberatkan. Disamping
itu, cara pandang yang kurang positif
terhadap arti pendidikan bagi kehidupan masih terdapat pada beberapa keluarga
dan masyarakat miskin yang pada umumnya berpendidikan rendah. Disamping itu
terdapat kenyataan bahwa akibat sosial ekonomi yang miskin akan mendorong anak
usia sekolah SD dan SMP terpaksa bekerja membantu kehidupan keluarga. Untuk
daerah terpencul terhambat adanya perhubungan yang terbatas sehingga
masayarakatnya sukar dijangkau pelayanan pendidikan.
Adapun cara yang dapat ditempuh guna menekan angka pelajar putus sekolah
tersebut serendah mungkin adalah pemerintah cukup memberikan perhatian kepada
sektor pendidikan. Salah satu indikasinya adalah dengan alokasi anggaran
pendidikan yang besar terhadap sektor ini. Program lain adalah beasiswa yang
diberikan pemerintah. Bahkan termasuk pihak swasta juga banyak memberi program
serupa. Namun program beasiswa ini dinilai masih memiliki kelemahan sehingga
tidak sampai. Tidak hanya secara informasi, tetapi juga secara manfaat.
Pasalnya, terkadang banyak beasiswa yang diberikan jusru kepada siswa yang
tidak hanya mampu secara akademis (pandai), tapi juga mampu secara
finansial.Ada problem dalam mekanisme beasiswa kita, yakni tentang sistem
perumusan pemberian beasiswa itu sendiri. Selama ini, program beasiswa masih
dilihat secara aktual, yakni syarat penerimaan beasiswa hanya didasarkan pada
hasil akademis siswa bersangkutan.Padahal, umumnya orang-orang yang pandai itu
biasanya dari kalangan ekonomi berkelas. Boleh saja mereka orang yang mampu
secara akademis dan finansial diberikan beasiswa, tapi jangan disamakan jumlah
beasiswanya dengan siswa miskin namun berpotensi berprestasi. Mekanisme
beasiswa seharusnya, beasiswa tidak hanya menyasar atau diukur pada kemampuan
hasil akademis, melainkan mulai pada siswa-siswa yang memiliki potensi
berprestasi. Artinya, murid-murid yang memiliki prestasi yang tidak terlalu
menonjol tapi dia memiliki keterbatasan ekonomi dan memiliki keinginan kuat
melanjutkan sekolah. Dengan pemberian beasiswa kepada anak-anak yang memiliki
potensi untuk menonjol tapi memiliki keterbatasan ekonomi ini, diharapkan bisa
menjadi motivasi untuk terus belajar dan bersekolah. Nantinya dievaluasi,
hingga si anak benar-benar mencapai batas yang diinginkan oleh pemberi
beasiswa. Tidak hanya problem di perumusan penerima beasiswa. Dalam memberikan
beasiwa juga harus dilakukan secara mudah. Sehingga siswa penerima beasiswa
benar-benar total belajar, baik bentuk uang ataupun pembebasan biaya pendidikan
bagi mereka, lengkap dengan perlengkapan yang dibutuhkan.Juga harus ada
mekanisme pelaporan dari penerima, atas apa yang dilakukan atas uang tersebut.
Kadang, ada uang beasiswa justru dikirimkan ke rumah untuk biaya adik-adik atau
tambahan biaya hidup keluarga.
Program lainnya adalah dengan program SD,SMP satu atap. Dengan
menjadikan SD dan SMP satu atap diharapkan akan dapat menanggulangi faktor
jarak tempuh yang juga menjadi faktor penyebab banyak anak dan remaja putus
sekolah. Dengan program ini biaya dan transportasi, pemondokan, dan akomodasi
menjadi terpotong, sehingga lebih menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan
anaknya.proses belajar mengajar juga harus menjadi perhatian. Menciptakan
proses belajar mengajar yang nyaman dan lancar bagi siswa miskin memang tidak
mudah.
Intinya adalah harus ada kesadaran pembelajaran semua komponen yang
terlibat di dalam proses pendidikan itu. Teristimewa guru dan
manajemen sekolah disamping pemerintah. Merekalah ujung tombak yang dituntut
memiliki visi dan orientasi lebih besar dalam “kerja besar” menanggulangi
masalah putus sekolah ini. Sedangkan masyarakat ( orang tua murid ) dan siswa
terutama yang miskin adalah pihak yang harus dirangkul karena mereka berpotensi rentan hengkang dari
program pendidikan ini dengan berbagai alasan. Tumbuhnya kesadaran keluarga
miskin untuk menyerahkan anaknya ke sekolah harus dilihat sebagai poin penting
dalam upaya penanggulangan putus sekolah. Dibalik itu harus disadari peliknya
persoalan yang dihadapi masyarakat. Tidak hanya faktor kemiskinan, ekonomi dan
biaya. Banyak sensitivitas lain yang perlu diselami, sebagai dampak dari
kemiskinan itu. Rasa rendah diri, kemalasan, kurangnya wawasan soal pentingnya
pendidikan, hambatan komunikasi dengan dunia sekolah, dan lain-lain., menuntut
perhatian besar kita. Harus dilihat realita di lapangan apa adanya. Di daerah
yang masyarakatnya atau kurang pemahaman soal pentingnya pendidikan, persoalan
penuntasan wajib belajar tentu tidak mudah. Jangan berharap input sumber daya
manusia yang secara mental siap dididik. Yang
bebal pun harus diterima. Poin pentingnya adalah bagaimana menjadikan
anak yang potensial terpinggirkan dan dunia sekolah menjadi terangkul dalam
pendidikan. Bukan justru menjadikan potensi-potensi itu tambah terlempar,
menjadi ketakutan sekolah dan memperbesar angka putus sekolah.
Penutup
Kesimpulan
Dengan adanya keseriusan dan kesigapan dari pemerintah dengan cara
mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti halnya kebijakan dana bantuan
operasional sekolah ( BOS ) untuk mengurangi jumlah anak yang putus sekolah,
maka angka yang putus sekolah akan dapat ditekan. Disamping itu peranan dari
pihak sekolah dan pihak orang tua dalam menekan jumlah anak yang putus sekolah
juga sangat diperlukan dan berpengaruh akan jumlah anak yang putus sekolah.
Saran
Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan
baik dari pemerintah, pihak sekolah, maupun para orang tua. Dimana kesemuanya (
pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak
yang akan putus sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
HYPERLINK
"http://www.seurunifoundimg.com" www.seurunifoundimg.com
HYPERLINK
"http://www.wordpress.com" www.wordpress.com
HYPERLINK
"http://www.pontianakpost.com" www.pontianakpost.com
HYPERLINK "http://www.hariantribune.com"
www.hariantribune.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar