KEKERASAN PENDIDIKAN DI NEGARA KITA
1. PEMBAHASAN MASALAH
Di
tengah budaya masyarakat Indonesia, hukuman fisik adalah suatu yang sangat
wajar dan masih banyak para orang tua atau para pendidik yang memberikan
hukuman fisik. Dimulai dengan berita-berita yang menyiarkan pelecehan oleh guru
terhadap sejumlah muridnya, kemudian dilanjutkan dengan tawuran dan konflik
fisik yang melibatkan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Kini, giliran mahasiswa APDN berebut merampas nyawa orang lain. Tidak puas
dengan menganiaya juniornya hingga tewas, mereka malah lebih berani lagi
melakukan penganiayaan di luar kampus. Akibatnya seorang pemuda harus meregang
nyawa. Ironis memang, karena kasus-kasus itu justru dilakukan oleh mereka yang
dipersiapkan untuk menjadi pemimpin negeri ini dan dilatarbelakangi oleh alasan
yang sepele. Lantas, dari sejumlah kasus tersebut, timbul pertanyaan ada apa
dengan dunia pendidikan Indonesia ?
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.
MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior untuk menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini, tak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan pada junior. Hukuman seperti push up, lari keliling lapangan, atau di jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu.
Maka, pada masa-masa awal tahun ajaran, tak jarang terdengar ungkapan "Aku jadi panitia ospek nih, lumayan bise ngerjekan anak baru, dapat baju kaos gratis agik". Tidak hanya sampai di situ, para senior juga mempermalukan juniornya dengan menyuruh membawa dan menggunakan dot bayi, mengikat rambut dengan pita warna-warni, memakai kaos kaki berlainan warna dan lain sebagainya. Semua atribut ini pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan tujuan awal di lakukannya MOS atau OSPEK, melainkan semata-mata sebagai alat untuk mengerjai junior, agar acara semakin meriah. Kedua kegiatan ini juga seringkali dirancang tanpa memperhatikan hal-hal penting yang mendukung aktivitas belajar, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menjadi ‘acara pembuka’ yang baik dalam memulai aktivitas akademis.
Kekerasan dan pelecehan yang terkandung dalam kegiatan ini akan terus berulang setiap tahun apabila tidak segera dihentikan. Junior yang sekarang menjadi korban, akan mencari korban lain di tahun depan, terus dan akhirnya membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya. Sangat patut disayangkan, kegiatan semacam ini justru telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak, ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Generasi muda yang terbiasa dengan kekerasan dan tindakan pelecehan akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang kekerasan pula. Maka, bukan hal yang mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan dalam perilaku keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak hanya pada kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.
Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus. Oleh sebab itu, semua pihak, baik pengajar, masyarakat, siswa dan mahasiswa maupun lembaga pendidikan harus benar-benar memperhatikan hal ini. Kontrol dan perhatian semua elemen masyarakat terhadap kebijakan pendidikan dapat menjadi tameng untuk menekan tumbuhnya kekerasan dan pelecehan dalam proses pendidikan.
Selain itu, untuk mewujudkan pendidikan yang sehat, maka diperlukan strategi pendidikan yang kuat dan cerdas. Kegiatan pengenalan sekolah dan kampus harus di tata sedemikian rupa dengan asas manfaat, yang benar-benar membantu dalam aktivitas akademis. MOS dan OSPEK diharapkan tidak lagi menjadi ketakutan tersendiri bagi siswa dan mahasiswa baru, namun dapat menjadi gerbang untuk mengasah potensi masing-masing. Lembaga pendidikan juga dituntut untuk proaktif dalam membina siswa dan mahasiswanya, serta mengontrol kegiatan-kegiatan yang dianggap memberikan peluang terjadinya kekerasan dan pelecehan.
Di
samping itu, Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226
kasus kekerasan terhadap anak di sekolah. Jumlah ini meningkat dibandingkan
dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi
Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan selama Januari-April
2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya, kekerasan fisik 89
kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah
itu 226 kasus terjadi di sekolah, ujar Seto Mulyadi dalam diskusi di Jakarta,
Rabu (3/5). Pemegang otoritas pendidikan menetapkan norma guna menata aksi
warga komunitas pendidikan agar kegiatan belajar-mengajar berlangsung tertib
dan tenteram. Sebagai pendukung norma itu, ditetapkan juga sanksi. Kalau aksi
mereka melanggar norma, maka sanksi diwujudkan menjadi hukuman kepada pelaku
aksi melanggar norma. Jika hukuman itu lebih besar, lebih berat daripada
sanksinya, atau tidak sesuai dengan hakikat pendidikan, maka terjadilah
kekerasan. Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan kepentingan
pendidik. Timbul masalah. Hukuman yang dijalankan kepada peserta didik sebagai
kewajiban guru mempertahankan disiplin bertentangan dengan hakikat pendidikan
dan hak azasi anak.
A. Definisi Kekerasan
Menurut Blask (1951) kekerasan, violence,
adalah pemakaian kekuatan, force, yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan,
yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang tak terkendali,
tiba-tiba, bertenaga, kasar, dan menghina. Kekuatan itu, biasanya kekuatan
fisik, disalahgunakan terhadap hak-hak umum, terhadap aturan hukum dan
kebebasan umum, sehingga bertentangan dengan hukum. Menurut UU Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004, pasal 1 ayat (1), kekerasan
adalah perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan
rumah tangga. Menurut KUHP, pasal 89, melakukan kekerasan artinya mempergunakan
tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak
sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak,
menendang, dan sebagainya, sehingga orang yang terkena tindakan itu merasa
sakit yang sangat. Melakukan kekerasan dapat disamakan dengan “membuat orang jadi
pingsan dan tidak berdaya”. Kekerasan dalam pendidikan tampak dalam hukuman
fisik sebagai alat pilihan pendidik yang sudah tidak memiliki cara lain yang
lebih baik lagi, yang kehabisan akal, atau yang biasa berlaku kasar. Hukuman
fisik tidak dikuliahkan, tidak membutuhkan pemikiran, latihan, atau pengertian
terhadap peserta didik, cukup dengan wewenang yang ada padanya. Kekerasan di
sekolah merujuk pada kekerasan, violence, dan kejahatan, crime, oleh pendidik,
peserta didik, kepala sekolah, administrasi, orangtua. Perbuatan yang dipandang
sebagai kekerasan adalah:
1. Penyalahgunaan hak, abuse, yaitu
pemakaian hak secara salah atau tidak patut.
2. Serangan berat, aggravated
assault, biasanya mematikan, dengan senjata.
3. Serangan fisik terhadap orang
lain secara melawan hukum, suatu percobaan atau
4. upaya untuk melakukan kekerasan
kepada orang lain.
5. Serangan dan penganiayaan,
menyentuh atau bentuk kekerasan atas fisik orang
6. Penganiayaan, battery, serangan
yang melawan hukum yang memukul atau
7. melukai atau dengan menyentuh
orang lain secara ofensif dan melawan hukum.
8. Perbuatan kejam terhadap hewan.
9. Penyalahgunaan hak terhadap anak,
child abuse, perbuatan kejam terhadap anak
10. Kekerasan dalam rumahtangga,
domestic violence.
11. Pembunuhan.
12. Kerusakan harta, seperti
penghancuran barang, pembongkaran, pembakaran.
13. Perkosaan atau pemaksaan yang
melawan hukum disertai kekuatan fisik, duress,
14. untuk berhubungan seks
(Wikipedia).
Kekerasan dalam hukuman fisik adalah
aplikasi rasa sakit secara fisik yang disengaja sebagai metoda pengubah
perilaku, dengan memukul, menampar, meninju, menendang, mencubit, mengguncang,
menyorong, memakai aneka benda atau aliran listrik, mengurung di ruang sempit,
gerakan fisik yang berlebihan, drill, melarang membuang air kencing, dan
lain-lain. Hukuman fisik di sekolah bukan kebutuhan okasional dari pendidik
guna mengendalikan murid yang berbahaya atau melindungi komuniti sekolah dari
ancaman bahaya (Greydanus, 2003)
Kekerasan adalah aksi agresi dan penyalahgunaan hak, abuse, yang merugikan, injurious, orang lain, materil dan imateril, sehingga merupakan tindakan kriminal. Kekerasan sering disebut sebagai penangkal rasa malu atau rasa terhina. Kekeliruan ungkapan ini yaitu bahwa kekerasan menjadi sumber kebanggaan dan usaha membela kehormatan. Kekerasan memang, tapi tidak selalu, merupakan perilaku menyimpang. Ada juga paham bahwa kekerasan itu sudah melekat pada kemanusiaan, dan dipegang sebagai pengekang diri, self restraint. Dalam studinya tentang penyebab kekerasan secara antropologis, James W.Prescott menemukan kaitan antara kurangnya kasih sayang ibu-anak dan represi seksual.
Kekerasan adalah aksi agresi dan penyalahgunaan hak, abuse, yang merugikan, injurious, orang lain, materil dan imateril, sehingga merupakan tindakan kriminal. Kekerasan sering disebut sebagai penangkal rasa malu atau rasa terhina. Kekeliruan ungkapan ini yaitu bahwa kekerasan menjadi sumber kebanggaan dan usaha membela kehormatan. Kekerasan memang, tapi tidak selalu, merupakan perilaku menyimpang. Ada juga paham bahwa kekerasan itu sudah melekat pada kemanusiaan, dan dipegang sebagai pengekang diri, self restraint. Dalam studinya tentang penyebab kekerasan secara antropologis, James W.Prescott menemukan kaitan antara kurangnya kasih sayang ibu-anak dan represi seksual.
B. Kekerasan Terhadap Peserta Didik
Penyebab Kekerasan terhadap peserta
didik bisa terjadi karena guru tidak paham akan makna kekerasan dan akibat
negatifnya. Guru mengira bahwa peserta didik akan jera karena hukuman fisik.
Sebaliknya, mereka membenci dan tidak respek lagi padanya. Kekerasan dalam
pendidikan terjadi karena kurangnya kasih sayang guru., Guru memperlakukan
murid sebagai subyek, yang memiliki individual differences (Eko Indarwanto,
2004). Juga, karena kurang kompetensi kepala sekolah membimbing dan
mengevaluasi pendidik di sekolahnya.
Orangtua mesti ikut mengurangi mengatasi kekerasan di sekolah dalam bentuk hukuman fisik, karena sekolah bukan gedung pengadilan. Komite Sekolah mesti mengatasi dan meniadakan praktik kererasan, yang bertentangan dengan tujuan pendidikan di sekolah, agar tidak muncul kelak guru yang kasar, tidak menghormati orang lain, pemarah, pembenci dan sebagainya. Kekerasan bisa terjadi karena pendidik sudah tidak atau sangat kurang memiliki rasa kasih sayang terhadap murid, atau dahulu ia sendiri diperlakukan dengan keras.
Orangtua mesti ikut mengurangi mengatasi kekerasan di sekolah dalam bentuk hukuman fisik, karena sekolah bukan gedung pengadilan. Komite Sekolah mesti mengatasi dan meniadakan praktik kererasan, yang bertentangan dengan tujuan pendidikan di sekolah, agar tidak muncul kelak guru yang kasar, tidak menghormati orang lain, pemarah, pembenci dan sebagainya. Kekerasan bisa terjadi karena pendidik sudah tidak atau sangat kurang memiliki rasa kasih sayang terhadap murid, atau dahulu ia sendiri diperlakukan dengan keras.
C. Akibat Kekerasan
Hukuman fisik biasanya dijalankan oleh
guru di bawah kondisi tekanan emosional yang dipicu oleh perilaku murid. Akibat
langsung pada pendidik sesudah melaksanakan hukuman fisik yaitu naiknya tekanan
darah, disusul dengan turunnya ketegangan emosi. Ini sebenarnya timbul dari
kehendaknya sendiri, self reinforced. Si guru akan berkata “Sekarang aku sudah
merasa baik lagi”. Situasi ini menuntut kendali diri pendidik demi kepentingan
jangka panjang peserta didik.
Murid yang mengalami hukuman fisik akan
memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat.
Gershoff, yang meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan
sejumlah perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah
dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak
mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan
tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua
dan guru (Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)
Murid itu, sebagai korban, kehilangan
haknya atas pendidikan, dan haknya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan
fiisik dan mental yang tidak manusiawi. Martabat mereka direndahkan.
Pertumbuhan dan perkembangan diri mereka dihambat.
Journal of Adolescent Health (2003)
mencatat kekerasan dalam pendidikan sebagai The Promotion of the Wrong Message,
yang membahayakan, karena dipromosikan bahwa kekerasan boleh diterima dalam
masyarakat. Promosi pesan yang keliru itu (a) mendorong pendidik memakai
kekerasan mengikuti teladan para tokoh otoritas atau pengganti orangtua mereka
yang memakai kekerasan itu; (b) mendukung orangtua dan pendidik menerapkan
kekerasan sebagaimana dulu mereka alami. Bagi mereka kekerasan itu sah-sah
saja.( Greydanus, Donald E., et al.,2003)
Menurut Hyman (1976), hukuman fisik
adalah bentuk resmi dari disiplin yang diterapkan di lingkungan keluarga dan
sekolah. Masih dipertanyakan orang tentang efektivitas kekerasan untuk
menghasilkan perubahan Secara yuridis, tindakan kekerasan diselesaikan secara
hukum, litigasi atau non-litigasi. Menurut pasal 1365 KUHPdt, “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Pasal 1366 menetapkan bahwa “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian, atau kurang hati-hatinya.” Pasal 1367 menetapkan
bahwa guru sekolah bertanggung-jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh
murid selama waktu murid itu berada di bawah pengawasan mereka, kecuali, jika
mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan yang mesti
mereka seharusnya bertanggungjawab. Dalam Hukum Pidana, perbuatan kekerasan
bisa digolongkan sebagai perbuatan pidana, umpama kejahatan kesusilaan,
penghinaan, penganiayaan.
D. Dampak Psikologis Kekerasan di
Sekolah
Pengalaman masa lalu adalah salah satu
tipologi psikologis dari seorang anak, jadi pengalaman masa lalu yang pernah
didapatkan seorang anak baik kekerasan fisik, kekerasan mental, dan beberapa
pengalaman pahit dialami semasa kecil akan terus berdampak pada saat dewasa.
Seperti dalam buku A Child Caled It, Dave Pelzer mengungkapkan tentang
bagaimana kondisi psikologis dirinya merupakan pembentukan berdasarkan
pengalaman psikologisnya di masa kanak-kanak. Dave menceritakan bagaimana
kisah-kisah kekerasan yang dialaminya semasa kecil telah membentuknya sebagai
pribadi yang “pincang”. Kekeresan selalu “melahirkan kekerasan”. Disadari atau
tidak apa yang dilakukan dalam pendidikan tradisional telah membentuk psikologi
sosial masyarakat Indonesia yang saat ini masih banyak dengan tindakan
kekerasan dalam komunitas sekolah seperti perilaku guru terhadap murid ataupun
kakak kelas terhadap adik kelas (senior dan junior).
Dampak yang akan muncul dari kekerasan
akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu
terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang
inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran
anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka
kelas. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan
mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu
menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman
main atau ke orang lain.
E. Menghargai
Perbedaan
Pertama, kekerasan mengajarkan kepada
anak didik tidak mampu menghargai perbedaan pendapat, harmonisasi kehidupan
serta kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum. Kekerasan yang dilakukan
dengan cara apapun akan menjauhkan anak didik dari cara-cara damai dan
demokratis dalam menyelesaikan permasalahan. Anak didik hanya mempunyai
referensi bahwa dalam menyelesaikan masalah hanyalah mempergunakan kekerasan
dan tidak melihat solusi alternatif. Kedua,
tindak kekerasan dapat menjadi pandangan buruk masa depan demokratisasi. Ketika
anak didik yang kelak menjadi pemimpin bangsa dihinggapi budaya kekerasan kelak
akan melakukan hal yang sama kepada rakyat untuk menutupi perbedaan pendapat.
Kekerasan dengan sendirinya menutup peluang mengemukakan kritik yang membangun.
Hal ini termasuk kategori teror karena perbedaan pendapat selalu disikapi
dengan budaya kekerasan. Teori
pembalajaran sosial (social learning theory) berdasar hipotesa bahwa agresi
bukanlah sifat dasar bawaan (innate) atau naluri/instink (instinctual)
melainkan hasil pembelajaran melalui proses sosialisasi.
2. CARA
PENANGGULANGANNYA
Solusi
mengatasi kekerasan dalam pendidikan bisa preventif, dengan mengarahkan semua
pihak ke yang positif, bisa represif, meredusir dan meniadakan yang negatif.
Adakan temu-wicara guru, orangtua dan murid, misalnya mengenakan penance study,
murid yang bermasalah mengerjakan tugas tambahan; tidak usah libur atau
kunjungan rumah dan teman-teman murid itu guna mencari latar belakang
masalah. Psikolog sekolah atau petugas
BP bisa mengatasi masalah kekerasan di sekolah, atau mendorong Komite Sekolah
dan Dewan Pendidikan memantau dan mengarahkan pemakaian kekerasan terhadap
peserta didik dan mewujudkan program pelaksanaan disiplin yang efektif. Adakan
program pengarahan orangtua murid demi pencegahan kekerasan dalam mengatasi
perilaku bermasalah dari anak mereka.
Beberapa Alternatif pengganti hukuman fisik:
Beberapa Alternatif pengganti hukuman fisik:
a. Sorotilah perbuatan murid yang negatif.
b. Jalankan aturan yang realistis secara konsisten.
c. Beri instruksi kepada semua murid tanpa kecuali.
d. Bahaslah perilaku positif bersama murid.
e. Bahaslah perilaku murid yang bermasalah dengan
orangtuanya.
f. Gunakan psikolog dan petugas BP.
g. Tahanlah murid yang bersalah di sekolah untuk
beberapa waktu dan beri tugas akademik khusus.
Beberapa Kiat disiplin kelas:
Beberapa Kiat disiplin kelas:
a. Susun rencana pembinaan disiplin setiap awal tahun.
Buat “kontrak belajar”. Minta kesepakatan murid. Jangan ada yang ingkar, sebab,
sukar memulainya dari awal.
b. Perlakukanlah semua murid secara sama.
c. Hindari konfrontasi dengan murid, agar ia tidak
dipermalukan temannya. Layani dia secara pribadi. Jangan jadikan dia sebagai
isu disiplin.
d. Pakailah humor yang sehat yang tidak menyinggung
hati murid, dan tidak menjadikan murid sebagai obyek humor.
e. Jangan putus asa. Jangan pikir bahwa murid gemar
mengacau kelas.
f. Pakailah pikiran positif.
g. Hindari waktu bebas. Susun kembali rencana kegiatan
belajar-mengajar kita.
h. Layani murid yang datang setiap saat dengan kasih
sayang sejati.
i. Konsitenlah selalu. Tapi bijaksana. Murid ingin
bahwa guru selalu sama setiap hari.
j. Buatlah aturan atau ketentuan yang mudah dimengerti
dan dijalankan oleh murid.
Sebagai pendidik, seorang guru seharusnya dapat menjadi contoh dan teladan yang baik bagi muridnya. Namun jika seorang guru melakukan tindakan aroganisme terhadap muridnya sendiri apalagi peristiwa ini terjadi dilingkungan sekolah dan disaksikan oleh para murid yang lain maka hal ini sangat mencoreng citra pendidikan di Indonesia.
Sebagai pendidik, seorang guru seharusnya dapat menjadi contoh dan teladan yang baik bagi muridnya. Namun jika seorang guru melakukan tindakan aroganisme terhadap muridnya sendiri apalagi peristiwa ini terjadi dilingkungan sekolah dan disaksikan oleh para murid yang lain maka hal ini sangat mencoreng citra pendidikan di Indonesia.
Terlebih
lagi pihak sekolah seakan menutup-nutupi dan membenarkan kelakuan oknum
tersebut. Pihak sekolah berdalih bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
oknum guru tersebut adalah upaya mendisiplinkan siswanya. Jika pihak sekolah
yang seharusnya memberi sanksi terhadap kelakuan guru yang arogan namun
ternyata seakan tidak perduli maka pihak yang berwajib harus menindak tegas hal
ini, karena kelakuan guru tersebut telah mencoreng dunia pendidikan.
Semua
persoalan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, tidak boleh diselesaikan
dengan emosi ataupun tindak kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh guru dapat
menyebabkan pengalaman traumatis, ketakutan, dendam, atau mungkin phobia sekolah
pada siswa. Seorang guru harus memberi contoh yang baik bagi siswanya. Guru
adalah orang tua siswa disekolah, maka seharusnya selain mengajar, seorang guru
juga dapat memberi rasa aman, melindungi dan menyayangi muridnya.
Sedangkan jika ditinjau dari segi
Sosiologi Pendidikan, ada beberapa alternatif solusi penyelesaian dan
pencegahan terhadap permasalahn kekerasan dalam dunia pendidikan. Yaitu :
1.
Peran orang
tua dan guru
Kurikulum
apapun yang mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan
pernah efektif mencapai tujuannya apabila system hukuman fisik masih
diimplementasikan dalam dunia pendidikan sekolah. Untuk itu ada solusi yang
akan ditawarkan. Yakni adanya reposisi orang tua dalam mendidik anak dalam
keluarga dan guru dalam mendidik murid di sekolah. Reposisi ini berupa
perubahan signifikan pada paradigma masyarakat yang masih sering menggunakan
hukuman fisik dalam mendidik. Selain itu juga perubahan untuk mulai menempatkan
guru ataupun orang tua dalan posisi setara dengan pribadi seorang anak. Dengan
membiarkan anak melakukan ekspresi dan melakukan keunikan-keunikannya sendiri
maka akan membentuk mental yang bagus dan tidak apatis, keunikan anak disini
tidak harus dipahami sebagai suatu kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak
itu sendiri. Kesadaran anak juga harus dibangun dengan sering mengajak
berdialog dan menciptakan komunikasi yang hangat, dan bukan memberikan
perintah-perintah dan larangan. Yang terpenting adalah membangun kepribadian
untuk sering berpendapat dan mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Dan
sadarilah masa depan negeri ini ada ditangan anak-anak kita dan oleh karena itu
peran orang tua dan guru sangat besar dalam menciptakan kepribadian seorang anak.
2. Humanisasi Pendidikan
Mengingat
bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah
menumbuhkan etika dan moral subjek didik ke tingkat yang lebih baik dengan cara
atau proses yang baik pula serta dalam konteks positif. Adanya beberapa bentuk
kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa
kegiatan pendidikan
kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Disinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-individu yang berwawasan sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.
kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Disinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-individu yang berwawasan sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.
3.
Guru,
Sebagai Ujung Tombak
Selain
menjadi seorang pengajar, seorang guru juga berperan sebagai pendidik dan
motivator bagi siswa-siswinya. Sebagai seorang pengajar, guru dituntut berkerja
cerdas dan kreatif dalam mentranformasikan ilmu atau materi kepada siswa. Dan
berupaya sebaik mungkin dalam menjelaskan suatu materi sehingga materi tersebut
bisa diaplikasikan dalam keseharian siswa itu sendiri.
Tugas
sebagai pendidik adalah tugas yang sangat berat bagi seorang guru. Guru
dituntut mampu menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan santun, dan
ketertiban sesuai dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah
masing-masing. Dengan demikian, diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi yang
sigap, mandiri, dan disiplin. Dan sebagai motivator, guru harus mampu menjadi
pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih prestasi. Dari penjelasan di
atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik bullying di sekolah
adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap
warga sekolah, termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.
Diharapkan,
dengan penegakan displin di semua unsur, tidak terdengar lagi seorang guru
menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar. Dan diharapkan tidak ada
lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya. Sebab, kalau
terbukti melanggar, berarti siap menerima sanksi.
3.
PENUTUP
Ø KESIMPULAN
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi
dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang
muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu
sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah
mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa
Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama
lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk
menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan
pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada
siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses
belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua
kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.
Ø
SARAN
Semoga saja pada tahun ajaran kali ini dan
seterusnya, tidak akan ada lagi siswa dan mahasiswa yang melakukan atau
mengalami tindakan kekerasan dalam kegiatan pengenalan sekolah dan kampus. Para
pengajar juga diharapkan untuk kembali pada hakikat pendidikan dan tidak
melakukan tindakan yang menyimpang dari tujuan pendidikan. Sehingga, sekolah
dan kampus dapat menjadi tempat yang berfungsi sebagaimana mestinya, yakni
pencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagai calon pemimpin bangsa,
tanpa kekerasan dan pelecehan.
DAFTAR PUSTAKA
-
http://salampessy.blog.friendster.com/2007/04/kekerasan-dalam-pendidikan-revisi/http://www.tribunjabar.co.id/opini
-
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?katsus=14 http://beritasore.com/2007/04/14/kekerasan-di-sekolah-puncak-gunung-es-problem-pendidikan/
-
http://www.gagasmedia.com/serba-serbi/penulis/kekerasan-dalam-pendidikan.html
TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN
“ MASALAH PENDIDIKAN DAN CARA
PENANGGULANGANNYA “
DOSEN PEMBIMBING : Prof.Dr.Yohanes Bahari,M.Si
MAKALAH
Disusun Oleh :
ANTON SUPIANTO
F01110028
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar