BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akidah merupakan asas kepada pembinaan Islam pada
diri seseorang. Ia merupakan inti kepada amalan Islam seseorang. Seseorang yang
tidak memiliki akidah menyebabkan amalannya tidak mendapat pengiktirafan oleh
Allah swt. Ayat-ayat yang terawal yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi
Muhammad saw di Makkah menjurus kepada pembinaan akidah. Dengan asas pendidikan
dan penghayatan akidah yang kuat dan jelas maka Nabi Muhammad saw telah berjaya
melahirkan sahabat-sahabat yang mempunyai daya tahan yang kental dalam
mempertahan dan mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Bilal bin Rabah tidak
berganjak imannya walaupun diseksa dan ditindih dengan batu besar di tengah
padang pasir yang panas terik. Demikian juga keluarga Amar bin Yasir tetap
teguh iman mereka walau berhadapan dengan ancaman maut. Dari sini kita nampak
dengan jelas bahawa pendidikan akidah amat penting dalam jiwa setiap insan
muslim agar mereka dapat mempertahan iman dan agama Islam lebih-lebih lagi di
zaman globalisasi yang penuh dengan cabaran dalam segenap penjuru terutamanya
internet dan teknologi maklumat yang berkembang dengan begitu pesat sekali.
B.
Rumusan
Masalah
-
Apa yang
dimaksud dengan aqidah ?
-
Bagaimana aqidah
yang benar dalam Islam ?
-
Apa manfaat dari
aqidah Islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aqidah
Aqidah
secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah
suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Aqidah menurut terminologi
syara' (agama) yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab,
Para Rasul, Hari Akherat, dan keimanan kepada takdir Allah baik dan buruknya.
Ini disebut Rukun Iman. Dalam syariat Islam terdiri dua pokok utama. Pertama:
Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada
kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau
asas. Kedua: Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat, puasa,
zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Nilai perbuatan ini
baik buruknya atau diterima atau tidaknya bergantung yang pertama. Makanya
syarat diterimanya ibadah itu ada dua, Pertama: Ikhlas karena Allah SWT yaitu
berdasarkan aqidah islamiyah yang benar. Kedua: Mengerjakan ibadahnya sesuai
dengan petunjuk Rasulullah SAW. Ini disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi satu
syarat saja, umpamanya ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah SAW
tertolak atau mengikuti Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor
manusia, umpamanya, maka amal tersebut tertolak. Sampai benar-benar memenuhi
dua kriteria itu. Inilah makna yang terkandung dalam Al-Qur'an surah Al-Kahfi
110 yang artinya: "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya." Makna Aqidah Dan Urgensinya
Sebagai Landasan Agama Aqidah Secara Etimologi Aqidah berasal dari kata 'aqd
yang berarti pengikatan. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika
dikatakan "Dia mempunyai aqidah yang benar" berarti aqidahnya bebas
dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya
kepada sesuatu. Aqidah Secara Syara' Yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya,
Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang
baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman. Syari'at
terbagi menjadi dua: i'tiqadiyah dan amaliyah. I'tiqadiyah adalah hal-hal yang
tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i'tiqad (kepercayaan) terhadap
rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya, juga beri'tiqad terhadap
rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama). Sedangkan
amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti
shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut
far'iyah (cabang agama), karena ia dibangun di atas i'tiqadiyah. Benar dan
rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i'tiqadiyah. Maka aqidah
yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya
amal. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada
Tuhannya." (Al-Kahfi: 110) "Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan
(Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang
yang merugi." (Az-Zumar: 65) "Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
keta'atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari
syirik)." (Az-Zumar: 2-3) Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang
jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak
bersih dari syirik. Karena itulah perhatian Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam
yang pertama kali adalah pelurusan aqidah. Dan hal pertama yang didakwahkan
para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala
yang dituhankan selain Dia. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu', ."
(An-Nahl: 36) Dan setiap rasul selalu mengucapkan pada awal dakwahnya:
"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan bagimu selainNya."
(Al-A'raf: 59, 65, 73, 85) Pernyataan
tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib dan seluruh rasul.
Selama 13 tahun di Makkah -sesudah bi'tsah- Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam
mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan aqidah, karena hal itu merupakan
landasan bangunan Islam. Para da'i dan para pelurus agama dalam setiap masa
telah mengikuti jejak para rasul dalam berdakwah. Sehingga mereka memulai
dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan aqidah, setelah itu mereka mengajak
kepada seluruh perintah agama yang lain.
B.
Faedah
Mempelajari Aqidah Islamiyah
Karena
Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak
diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu
banyak kelemahannya. Makanya seorang mu'min harus yakin kebenaran Aqidah
Islamiyah sebagai poros dari segala pola laku dan tindakannya yang akan
menjamin kebahagiannya dunia akherat. Dan merupakan keserasian antara ruh dan
jasad, antara siang dan malam, antara bumi dan langit dan antara ibadah dan
adat serta antara dunia dan akherat. Faedah yang akan diperoleh orang yang
menguasai Aqidah Islamiyah adalah:
ü Membebaskan
dirinya dari ubudiyah / penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya
kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
ü Membentuk
pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun
duka.
ü Dia
merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang
rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut
mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah (outer focus of control).
ü Aqidah
memberikan kekuatan kepada jiwa , sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada
Allah dan ridho terhadap segala ketentuan Allah.
ü Aqidah
Islamiyah adalah asas persaudaraan / ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara
miskin dan kaya, antara pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata,
antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya disisi
Allah SWT.
C. Aqidah Islam: Persoalan Tertinggi dalam Hidup
Sebelumnya datangnya Islam bangsa Arab adalah bangsa yang tidak diperhitungkan di mata dunia. Namun, setelah Rasulullah saw datang dengan risalah Islam mereka pun menjadi mulia dan terhormat; bukan hanya dari sisi keperibadian mereka, namun juga negara dan peradaban yang mereka bangunkan. Hal tersebut setidaknya tercermin dari pernyataan Umar bin al-Khaththab ra.:
إنَّا كنَّا
أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللهُ بِاِلإسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّ
بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ أَذَلَّنَا اللهُ
Kami dulunya
adalah kaum yang paling hina. Lalu Allah memuliakan kami dengan Islam. Kerana
itu, jika kami mencari kemuliaan selain dari apa yang dengannya Allah telah
muliakan kami maka Ia pasti menghinakan kami (HR al-Hakim; ia mensahihkannya
dan disepakati oleh ad-Dzahabi).
Berbeza halnya dengan umat Islam saat ini. Meski akidah Islam tetap ada
pada diri mereka, mereka masih mengalami kemunduran dalam berbagai bidang
kehidupan. Padahal mereka sesungguhnya adalah umat terbaik yang dikeluarkan
untuk manusia (lihat QS Ali Imran [3]: 110).
Salah satu penyebabnya adalah akidah Islam yang saat ini mereka anut
tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Hal tersebut setidaknya terlihat
pada tiga hal. Pertama: hilangnya ikatan akidah dengan pemikiran dan sistem
Islam sehingga akidah tersebut tidak produktif. Kedua: hilangnya hubungan
antara akidah dengan Hari Kiamat. Akibatnya, umat tidak berupaya agar kehidupan
mereka diarahkan untuk menggapai indahnya kehidupan syurga dan menjauhi
pedihnya azab neraka dengan berlomba-lomba meraih redha Allah SWT. Ketiga:
akidah Islam juga tidak lagi dijadikan sebagai pengikat ukhuwah di kalangan
umat Islam sehingga mereka terpecah-belah dalam berbagai bangsa dan negara.
Lalu bagaimana caranya menjadikan umat Islam kembali bangkit dengan
akidah Islam yang mereka anut? Pertanyaan tersebut dapat ditemukan jawabannya
dalam Kitab Nizhâm al-Islâm bab “Tharîq al-imân” karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
rahimahullah, yang akan ditelaah lebih lanjut dalam tulisan ini.
a) Asas Kebangkitan
Bab “Tharîq
al-Imân” dalam buku ini bermaksud menjelaskan bagaimana membangkitkan umat
Islam dari kemudurannya dengan cara yang benar. Kebangkitan yang hakiki menurut
Syaikh An-Nabhani bukanlah berupa kemajuan dalam bidang ekonomi, teknologi,
pendidikan, akhlak ataupun ketenteraan; namun pada peningkatan taraf berpikir.
Pemikiran menjadi hal utama kerana ia yang menentukan baik-buruknya tingkah
laku seseorang atau umat dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, kemajuan
dalam bidang-bidang di atas dapat dengan mudah diperoleh jika telah terjadi
peningkatan taraf berpikir pada diri mereka. Namun demikian, peningkatan taraf
berpikir yang dimaksud bukan sekadar kerana adanya perubahan dan peningkatan
apa yang difikirkan, misalnya dari sekadar memikirkan diri sendiri lalu
meningkat dengan memikirkan keluarga atau umat manusia. Selama peningkatan
taraf berfikir tersebut tidak dibangun oleh satu pandangan hidup tertentu maka
perubahan yang dihasilkan tidak akan berkekalan kerana mudah berubah, tidak
mampu memberikan ketenangan hidup serta tidak dapat memecahkan berbagai
persoalan hidup manusia. Dengan demikian, orang tersebut tidak akan pernah
bangkit. Lalu pemikiran apa yang dapat membangkitkan manusia? An-Nabhani
menjelaskan bahawa pemikiran tersebut adalah akidah, yakni pemikiran yang
menyeluruh tentang:
v Manusia, alam semesta dan kehidupan; apakah ketiganya diciptakan
atau tidak.
v Sebelum kehidupan; apakah ada pencipta atau tidak.
v Setelah kehidupan; apakah ada Hari Kiamat atau tidak.
v Hubungan manusia, alam dan kehidupan dengan sebelum dan setelah
kehidupan; jika memang ada pencipta, bagaimana hubungannya dengan manusia di
dunia; jika ada Hari kemudian, bagaimana hubungannya dengan kehidupan manusia
di alam ini.
Dengan cakupan pemikiran yang mendasar (asâsiyyah) dan menyeluruh
(syumûliyyah) tersebut, maka akan dapat dibangun di atasnya berbagai pemikiran
cabang, yakni pemikiran dapat memberikan jawapan atas segala persoalan hidup
manusia sehingga manusia dapat mengalami kemajuan dan kebangkitan. Meski
demikian, pemikiran yang menyeluruh tersebut belum menjamin bahawa kebangkitan
yang dihasilkan adalah kebangkitan yang benar. Oleh kerana itu, pemikiran
tersebut harus memenuhi dua kriteria. Pertama: harus sesuai dengan akal
sehingga seseorang merasa puas dengan hujah (dalil) yang menjadi dasar
pemikiran tersebut. Kedua: sesuai dengan fitrah manusia, yakni harus dapat
memenuhi naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada diri manusia, yakni adanya
sifat lemah dan terbatas pada dirinya sehingga ia memerlukan pelindung dan
pengatur. Dengan demikian maka pemikiran tersebut mampu memberikan ketenangan
pada dirinya. Agar pemikiran di atas dapat memuaskan akal dan memenuhi naluri
beragama pada diri manusia maka untuk mencapainya harus ditempuh dengan proses
berpikir secara jernih (al-fikr al-mustanîr). Proses berfikir yang jernih
adalah proses berfikir yang mendalam (‘amîq) tentang suatu objek di atas,
dikaitkan dengan apa yang ada di sekitarnya, dan yang berhubungan dengannya
untuk mencapai hasil yang benar. Pentingnya proses berfikir jernih tersebut
kerana pemikiran yang akan diperoleh tersebut akan menjadi asas kehidupan dan
pandangan hidup sehingga ia memustahilkan adanya kesalahan sekecil apapun.
Kesalahan hanya mungkin terjadi pada pemikiran cabang yang berasal dari asas
tersebut.
b) Dalil Akidah
Kerana objek akidah di atas berkaitan dengan penetapan (itsbât) tentang
hakikat sesuatu secara pasti maka ia pun harus dilandasi oleh dalil yang
menyakinkan (qath’i) sehingga apa yang diyakini tersebut memang sesuai dengan
realiti. Oleh kerana itu, akidah yang juga diistilahkan dengan iman
didefinisikan sebagai at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi’ (pembenaran
secara pasti yang sesuai dengan realiti dan didasarkan pada dalil). Syaikh
an-Nabhani kemudian menjelaskan bagaimana akidah Islam dibuktikan dengan proses
berfikir yang jernih dengan mengetengahkan dalil yang meyakinkan (qath’i).
Pemikiran tentang alam, manusia dan kehidupan akan menghasilkan jawapan bahwa
ketiganya terbatas dan lemah. Segala sesuatu yang lemah pasti memerlukan yang
lain. Jika demikian maka ia pasti diciptakan. Dengan hujah demikian maka
manusia pasti akan sampai pada kesimpulan akan adanya pencipta sekaligus
pengatur ketiga hal tersebut. Dengan kata lain, ia telah sampai pada pemikiran
tentang sebelum kehidupan dunia bahwa ketiganya diciptakan oleh Al-Khâliq.
Di dalam kitab Syakhsiyyah Islamiyyah I dan Naqd al-Isytirâkiyyah
al-Marksiyyah dihuraikan lebih jauh mengenai dalil tentang kepastian adanya
pencipta dan bantahan terhadap pandangan pihak-pihak yang menafikannya. Metod
pembuktian seperti ini sejalan dengan metod al-Quran dalam menuntun manusia
mengimani Allah SWT dengan cara mengajak mereka memikirkan hal-hal yang dapat
diindera manusia di alam ini. Syaikh An-Nabhani kemudian menjelaskan bahawa
manusia hanya dapat berfikir pada hal-hal yang berada dalam jangkauan
inderawinya. Dengan demikian, nama, zat dan sifat pencipta dan pengatur
tersebut mustahil dapat diketahui oleh akal. Jika dipaksakan maka hanya akan
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang spekulatif sehingga tidak dapat
diyakini kebenarannya. Padahal Islam mewajibkan akidah diyakini secara penuh
dan tidak boleh ada keraguan sedikit pun. Selain itu, terdapat sejumlah nash
yang mengharamkan untuk meyakini hal-hal yang bersifat spekulatif. Di sinilah
pentingnya pemahaman yang benar terhadap hakikat akal sehingga ia dapat ia
difungsikan dengan tepat. Kekeliruan dalam memahami hakikat akal akan berakibat
fatal dalam memahami dan meyakini persoalan yang berkenaan dengan akidah
sebagaimana yang menimpa para mutakallimin. Kekeliruan tersebut bukan hanya
telah menjadikan pembahasan akidah menjadi berjele-jele dan sulit, namun juga
telah memberikan dampak yang serius bagi kemunduran umat Islam.
Untuk meyakini hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal maka
diperlukan sumber lain yang dapat menjelaskan hal tersebut. Namun demikian,
sumber tersebut tentu harus diyakini kebenarannya oleh akal manusia agar
penjelasannya dapat diyakini. Untuk itulah diutus seorang rasul yang dibekali
mukjizat sehingga setiap orang yang menyaksikan mukjizat tersebut dengan proses
berfikir yang jernih yakin bahawa ia adalah utusan sang pencipta. Kehadiran
seorang rasul juga merupakan cara untuk memenuhi naluri pada manusia untuk
beribadah kepada pencipta tersebut dan adanya aturan yang mengatur dirinya yang
penuh dengan kelemahan dan keterbatasan.
Di dalam Islam, rasul yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw dan
mukjizatnya adalah al-Quran. Al-Quran juga berfungsi sebagai petunjuk kepada
umat manusia tentang bagaimana menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan
Penciptanya, Allah SWT. Penetapan bahwa al-Quran berasal dari Allah juga dengan
menggunakan akal kerana terbukti tidak seorang pun yang dapat menandingi
kehebatan gaya bahasanya baik oleh orang Arab hatta Nabi Muhammad saw.
sekalipun.
Setelah terbentuk keyakinan terhadap al-Quran maka secara automatik
seluruh isi kandungannya akan diyakini; seperti keimanan terhadap para nabi dan
rasul sebelum Muhammad saw beserta kitab suci mereka, keimanan kepada Malaikat,
dan keimanan pada kehidupan setelah dunia ini, yakni Hari Kiamat. Dengan
demikian, terjawab sudah pemikiran tentang kehidupan setelah dunia, yakni
akhirat, dan hubungannya dengan kehidupan manusia di dunia, iaitu bahawa
manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan di dunia ini
apakah sesuai dengan aturan Allah SWT atau tidak. Bagi yang taat diganjarkan
syurga, sementara yang ingkar akan dibalas dengan siksa neraka.
c) Output
Kerana sifatnya yang mendasar dan menyeluruh serta diperoleh dengan
proses berfikir yang jernih sehingga memberikan pembenaran yang pasti, maka
akidah Islam merupakan landasan yang sangat kuat yang menghasilkan berbagai
pemikiran cabang dalam seluruh kehidupan manusia. Dengan kata lain, akidah
Islam merupakan landasan ideologi yang didefinisikan sebagai akidah yang
diperoleh melalui proses berfikir yang melahirkan sistem kehidupan. Dengan
sifat tersebut, seseorang yang meyakini akidah Islam akan tunduk pada seluruh
hukum-hukum yang bersumber dari akidah tersebut, yakni syariah Islam secara
menyeluruh tanpa membezakan antara satu dengan yang lain seperti antara solat
dan Khilafah, zakat dan jihad fi sabilillah, thaharah dan qishâsh, dll. Seseorang
yang meyakini akidah Islam yang benar akan menjadikan akidah tersebut sebagai
dasar bagi seluruh pemikiran (’aqliyyah) dan kejiwaan (nafsiyyah)-nya. Ia pun
akan berupaya untuk menerapkan seluruh hukum-hukum yang terpancar dari
akidahnya dalam sebuah negara kerana metod kebangkitan hanya dapat diraih
dengan menerapkan suatu pemerintahan yang berdasarkan akidah. Inilah yang
terjadi pada bangsa Arab yang bangkit dengan Islam yang dibawa oleh Rasulullah
saw yang kemudian diterapkan pada suatu negara. Hal ini sebagaimana yang
terjadi pada Eropha dan Uni Soviet yang masing-masing bangkit dengan idea
sekularisme dan materialisme yang diterapkan dalam pemerintahan—meski dua yang
terakhir tidak menghasilkan kebangkitan yang benar, kerana akidah yang
dijadikan asas adalah akidah yang salah. Namun yang pasti, hal tersebut menjadi
bukti bahawa adanya akidah semata belum cukup untuk melahirkan kebangkitan
tanpa adanya negara.
D. Bahaya
Penyimpangan Pada Aqidah
Penyimpangan
pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh
kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang
tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas
dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya
penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya:
1) Tidak
menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan
perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang
aqidah yang benar.
2) Fanatik
kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang
benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima
aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami."
(Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."
3) Taklid
buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang
tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh
panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.
4) Berlebihan
(ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah
meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat
berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai
penengah/arbiter antara dia d9engan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan
tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada
Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka
mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya: "Dan
jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula
Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."
5) Lengah
dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajaran Islam disebabkan silau terhadap
peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir
dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus
menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.
6) Pendidikan
di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak
tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah
memperingatkan yang artinya: "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya,
maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya"
(HR: Bukhari). Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan
dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan
lain sebagainya.
7) Peranan
pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan
seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam
pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media
baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya
secara besar-besaran.
Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan
menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah
mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup
kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan
dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang
artinya: "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."
Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya:
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan,
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
E. Perkembangan
Aqidah
Pada
masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena
masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun
terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para
sahabat yang artinya berbunyi: "Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"
Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman
-pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah
karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari
dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib
dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad
Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim
oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena
terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan
dalam karya mereka.
Terkadang
aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama),
As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih
terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan
berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu
mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama sampai
generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW. Ringkasnya: Aqidah Islamiyah yang shahih bisa
disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan
contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.
F. Pentingnya
Aqidah
"Dan
barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para
shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69)
Nilai
suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar dan
bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang paling
penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta.
Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir meskipun dia Profesor
Doktor, pada hakekatnya dia bodoh. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang
tidak mengenal yang menciptakannya? Allah menciptakan manusia dengan
seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding dengan makhluk / ciptaan
lainnya.
Kemudian
Allah bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (Menurut hadits yang
disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya
menyerukan kepada Tauhid (dikeluarkan oleh Al-Bukhari di At-Tarikhul Kabir
5/447 dan Ahmad di Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu
Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di
Al-Maurid 2085 dan Thabrani di Al-Mu'jamul Kabir 8/139)) agar mereka berjalan
sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul.
Namun ada yang menerima disebut mu'min ada pula yang menolaknya disebut kafir
serta ada yang ragu-ragu disebut Munafik yang merupakan bagian dari kekafiran.
Begitu pentingnya
Aqidah ini sehingga Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing
ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena aqidah
adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia seperti kepalanya. Maka
apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitisi adalah
kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut
kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akherat. Dialah kunci menuju surga.
Sepanjang sejarah agama dapat
memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan
semangat kerjasama antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga
dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif
dari agama dalam mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa
tempat di Indonesia. Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik
antar masyarakat beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam perspektif
sosiologi agama. Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal
pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama. Dengan menggunakan
kerangka teori Hendropuspito, penulis ingin menyoroti konflik antar kelompok
masyarakat Islam - Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu:
Perbedaan
Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing
menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari
benturan itu. Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang
ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian
atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat
(subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama
sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut
patokan itu. Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi
(revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu
memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.
Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari
aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam
keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga
hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam
artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh
mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan
mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di
Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik
dan malah menganut garis keras. Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap
mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu
konflik.
Perbedaan
Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat
dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar
bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab
lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Contoh
di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku
Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu
hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering
terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan. Di beberapa tempat yang
terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa
yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku
Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah
kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa.
Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu
terjadinya konflik.
Perbedaan
Tingkat Kebudayaan
Agama
sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan
budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan
dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya
modern. Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam
- Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang
konflik itu. Kelompok masyarakat
setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum
pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah
gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah. Perbedaan budaya dalam kelompok
masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai
faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok
agama di Indonesia.
Masalah
Mayoritas da Minoritas Golongan Agama
Fenomena
konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama
pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan
agama. Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah
beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan
mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di
Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas
daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena
itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering
mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung
ibadat.
BAB
III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Akidah
merupakan asas kepada pembinaan Islam pada diri seseorang. Ia merupakan inti
kepada amalan Islam seseorang. Seseorang yang tidak memiliki akidah menyebabkan
amalannya tidak mendapat pengiktirafan oleh Allah swt. Ayat-ayat yang terawal
yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw di Makkah menjurus
kepada pembinaan akidah. Dengan asas pendidikan dan penghayatan akidah yang
kuat dan jelas maka Nabi Muhammad saw telah berjaya melahirkan sahabat-sahabat
yang mempunyai daya tahan yang kental dalam mempertahan dan mengembangkan Islam
ke seluruh dunia.
b. Saran
Dengan
adanya aqidah islam yang benar ini diharapkan bisa menjadi pedoman untuk
berbuat yang lebih baik dan sebagai penuntun hidup sesuai dengan sunah
Rasulullah SAW dan Al Quran.
DAFTAR PUSTAKA
-
Muhammad Nur. 1987. Muhtarul Hadis. Surabaya: Pt. Bina Ilmu.
-
Miftah Faridl. 1995. Pokok-pokok Ajaran Islam. Bandung:
Penerbit Pustaka
-
Syed Mahmudunnasir. 1994. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya.
Bandung:
Rosdakarya.
-
Toto Suryana, Dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Bandung:
Tiga Mutiara
-
www. Perpustkaan-Islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar