KEKERASAN
DALAM DUNIA PENDIDIKAN
DI INDONESIA
1.
PENDAHULUAN
Selain tingginya angka buta huruf, putus sekolah, minimnya pembiayaan, dan
rendahnya kualitas pendidikan sehingga kesulitan mencapai target MDG’s
(Millenium Development Goal’s) dan EFA (Education for All), kekerasan dalam
pendidikan menjadi problem terselubung yang bila tidak diselesaikan akan
menjadi masalah serius untuk pendidikan Indonesia. Kekerasan dalam pendidikan
bagaikan puncak gunung es atau dengan kata lain kekerasan dalam pendidikan
merupakan masalah yang tidak pernah tersentuh.
Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik dengan kekerasan, baik di masa
yang lalu apalagi sekarang ini. Tapi kekerasan sering kali
dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia
pendidikan. Istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak didik,
sudah lazim digantikan dengan kata “keras”. Hal ini kemudian ditunjang
dengan penggunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer,
khususnya pendidikan kemiliteran. Ketika kemudian cara-cara pendidikan
kemiliteran itu diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara “keras” ini –
istilah sekarang adalah kekerasan – juga ikut diambil alih.
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa seperti dilempar
penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul. Di samping itu siswa
juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata makian, seperti
bodoh, goblok, kurus, ceking dan sebagainya.
Selain itu, kasus-kasus kekerasan pendidikan yang kita ketahui dari berita-berita yang menyiarkan pelecehan oleh guru
terhadap sejumlah muridnya, kemudian dilanjutkan dengan tawuran dan konflik
fisik yang melibatkan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Kasus yang paling populer adalah mahasiswa IPDN berebut merampas nyawa
orang lain. Tidak puas dengan menganiaya juniornya hingga tewas, mereka malah
lebih berani lagi melakukan penganiayaan di luar kampus. Akibatnya seorang
pemuda harus meregang nyawa. Ironis memang, karena kasus-kasus itu justru
dilakukan oleh mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin negeri ini dan
dilatarbelakangi oleh alasan yang sepele.
Aksi tragis lain yang terjadi yaitu David Hartanto, mahasiswa Indonesia di Nanyang
Technological University (NTU) Singapura menikam profesornya dan setelah itu
diduga bunuh diri dengan meloncat dari lantai 4 di kampusnya, (Sumber: Pikiran
Rakyat). Kisah sedih ini seolah menambah daftar panjang fenomena kekerasan di
lingkungan pendidikan. Di tanah air, saat ini pun sedang marak pemberitaan
kasus-kasus kekerasan yang melibatkan para pelajar. Beberapa waktu lalu beredar
video yang menggambarkan pengeroyokan siswa SMP di ruang kelas, perkelahian
antargeng siswa perempuan, bahkan ada pula video kekerasan perkelahian dua
siswa perempuan disaksikan teman-temannya dan seorang gurunya menjadi wasit.
Lantas, dari sejumlah kasus tersebut, timbul pertanyaan ada apa dengan
dunia pendidikan Indonesia ?
2.
PEMBAHASAN MASALAH
Secara umum, kekerasan dapat
diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang
lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk
eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu
diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si
korban. Dewasa ini, tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan
istilah bullying.
Pada
kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh
teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun bahkan seorang guru terhadap
muridnya. Terlepas dari alasan apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut
dilakukan, tetap saja praktik bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi
apabila terjadi di lingkungan sekolah.
Maraknya
tayangan-tayangan kekerasan dalam dunia pendidikan, khususnya yang dilakukan
oleh guru terhadap siswanya ataupun oleh siswa terhadap temannya, seharusnya
mampu membuka atau menggugah hati kita sebagai seorang pendidik, bahwa tidak
tertutup kemungkinan praktik bullying tersebut terjadi pula di lingkungan
sekolah kita masing-masing.
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia
pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan
tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian
akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia
pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa)
atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua
kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan
mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi
maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa
baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai
kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami
penyimpangan tujuan.
MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior untuk menunjukkan
kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini, tak jarang mereka melakukan
tindakan kekerasan dan pelecehan pada junior. Hukuman seperti push up, lari
keliling lapangan, atau di jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang
biasa. Ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut
hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih
kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, alasan
sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam
atas perlakukan senior terdahulu.
Maka, pada masa-masa awal tahun ajaran, tak jarang terdengar ungkapan "Aku
jadi panitia ospek nih, lumayan bisa ngerjain anak baru, dapat baju kaos gratis
lagi". Tidak hanya sampai di situ, para senior juga mempermalukan
juniornya dengan menyuruh membawa dan menggunakan dot bayi, mengikat rambut
dengan pita warna-warni, memakai kaos kaki berlainan warna dan lain sebagainya.
Semua atribut ini pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan tujuan awal di
lakukannya MOS atau OSPEK, melainkan semata-mata sebagai alat untuk mengerjai
junior, agar acara semakin meriah. Kedua kegiatan ini juga seringkali dirancang
tanpa memperhatikan hal-hal penting yang mendukung aktivitas belajar, sehingga
tidak dapat diandalkan untuk menjadi ‘acara pembuka’ yang baik dalam memulai
aktivitas akademis.
Kekerasan dan pelecehan yang terkandung dalam kegiatan ini akan terus berulang
setiap tahun apabila tidak segera dihentikan. Junior yang sekarang menjadi
korban, akan mencari korban lain di tahun depan, terus dan akhirnya membentuk
lingkaran setan yang tiada habisnya. Sangat patut disayangkan, kegiatan semacam
ini justru telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak,
ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Generasi muda yang
terbiasa dengan kekerasan dan tindakan pelecehan akan tumbuh menjadi
pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang kekerasan
pula. Maka, bukan hal yang mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan
dalam perilaku keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang
akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak hanya pada
kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh
guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.
Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih
kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak
sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar
lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus.
Kekerasan
adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat bertentangan dengan
berbagai landasan dalam pendidikan. Berikut paparan mengenai kekerasan bila
ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di Indonesia:
A. Tinjauan dari Landasan Hukum
Pendidikan
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
1. pasal 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
2. pasal 4 ayat 1 yang menyatakan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas)
3. Tentang
kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dinyatakan sebagai berikut:
(1)
Setiap orang
yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual;
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain.
Pasal 82
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
(UU
Perlindungan Anak)
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa
anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun,
termasuk guru di sekolah.
Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di
dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
(UU
Perlindungan Anak)
Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa
tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya
akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga
dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam
pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
B. Tinjauan dari Landasan Psikologi
Pendidikan
Tindakan
kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis.
Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan
tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Dampaknya, tindakan tersebut
dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus tertentu
dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup oleh
si korban.
Adapun
kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina,
mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau
ucapan yang melukai perasaan orang lain.
Dampak
kekerasan secara psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang,
bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena
tidak tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit karena biasanya
si korban enggan mengungkapkan atau menceritakannya.
Dampak
lain yang timbul dari efek bullying ini adalah menjadi pendiam atau penyendiri,
minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang,
sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang lebih
parah dapat mengakibatkan bunuh diri.
Ditinjau
dari psikologi perkembangan, Havingrust dalam Pidarta (2007:199) menyatakan
bahwa perkembangan psikologi pada masa anak-anak adalah membentuk sikap diri
sendiri, bergaul secara rukun, membuat kebebasan diri, membentuk kata hati,
moral dan nilai, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok serta
lembaga-lembaga sosial. Tentu saja perkembangan ini akan terhambat dengan
adanya kekerasan dalam pendidikan.
Kekerasan yang dilakukan oleh guru sangat bertentangan dengan pendapat Freedman
(Pidarta, 2007:220) yang menyatakan bahwa guru harus mampu membangkitkan kesan
pertama yang positif dan tetap positif untuk hari-hari berikutnya. Sikap dan
perilaku guru sangat penting artinya bagi kemauan dan semangat belajar
anak-anak. Jadi, hukuman yang dilakukan oleh guru akan menjadi kesan negatif
yang berdampak negatif pula dalam proses belajar anak.
Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek kekerasan dalam pendidikan,
tetap saja hal ini adalah suatu kesalahan. Sekolah sepatutnya tempat bagi siswa
untuk berkembang. Namun, di saat kekerasan terjadi di sekolah, sekolah justru
mematikan perkembangan psikologi siswa.
C. Tinjauan dari Landasan Filsafat
Pendidikan
Menurut Sekjen KPA, Arist
Merdeka Sirait, pada tahun 2009 telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di
sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari tahun 2008,
yang jumlahnya sebanyak 362 kasus.
Begitu
banyak kekerasan yang terjadi di sekolah merupakan hal yang menyedihkan bagi
dunia pendidikan. Kekerasan seharusnya tidak terjadi di negara kita yang
berfalsafah Pancasila, apalagi ini terjadi dalam dunia pendidikan. Bangsa kita
adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan
sila kedua Pancasila. Segala bentuk kekerasan tentunya melanggar nilai-nilai
kemanusiaan khususnya hak asasi manusia. Dan pelanggaran hakasasi manusia akan
mendapatkan konsekuensi hukum sesuai dengan perundang-undangan yang belaku di
negara kita.
D. Tinjauan dari Landasan Sosial
Budaya
Pada landasan sosial budaya, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan hubungan
antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok serta mengembangkan
nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, hal tersebut hanya menjadi wacana saat
kekerasan terjadi dalam pendidikan. Siswa tidak dapat mengembangkan hubungan
yang baik antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok ketika “budaya
senioritas” masih melekat di sekolah. Di sisi lain, terkikisnya budaya bangsa
yang dikenal dunia dengan sopan santunnya akibat maraknya tindak kekerasan
khususnya dalam dunia pendidikan.
3.
CARA PENANGGULANGANNYA
Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk
memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu,
tanpa harus menggunakan kekerasan.
1. Tindakan
alternatif
Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau alternatif
ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal
itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga
pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan
untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang
tanpa kekerasan.
Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi orang
dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan
matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan
berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan
dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan
akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.
2. Keakraban
penuh keterbukaan
Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-bedakan
anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau
mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui
siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila
adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa.
Di dalam keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling menghargai
dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan
dan menerima apa adanya.
Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah
kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka dari
gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh
sang guru.
3.
Komunikasi yang jujur
Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan
kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan.
Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam kebenarannya
setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kebenaran dan kenyataan.
Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap
orang lain. Sampaikan kepada anak didik kebenarannya; arahkan kemarahan
kita terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam
konflik dan kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita
menggunakan kebohongan dan penipuan.
4. Hormati
Kebebasan dan Persamaan
Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara, setiap
orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian.
Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua
pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan.
Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan
hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu.
Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia dan
menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita
sendiri dihormati. Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk
mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka. Jika
kita mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat
keputusan-keputusan mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan
mereka, dan kita bahkan dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk
memaksa mereka tanpa kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin
mereka telah melakukan kesalahan. Perbedaan yang penting adalah kita
tidak memaksa mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang
kita inginkan.
5. Rasa
kasih yang berani
Bertentangan dengan kepercayaan umum, pendidikan tanpa kekerasan bukan sebuah
metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para penakut. Tindakan tanpa
kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian dibanding perkelahian dengan
kekerasan seperti dalam peperangan, meski tampaknya itu semacam keberanian.
Karena jika kita melihat lebih jauh penggunaan senjata merupakan
kompensasi dari rasa takut terhadap lawan. Dan tindakan kekerasan
merupakan bukti adanya perasaan takut lawan lebih dulu melakukannya terhadap
kita. Jadi melakukan tindakan tanpa kekerasan menunjukkan ketinggian
martabat yang penuh keberanian.
Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati kita. Rasa kasihan bisa
digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain di
dalam merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai keberanian dan
kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu. Di dalam rasa
kasihan, kita tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci kepada anak didik
yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan hati dan kepedulian, kita
memperbaikinya. Rasa kasihan datang dari rasa kesatuan dengan orang lain,
memperluas hati kita sehingga kita bisa merasakan empati atas penderitaan orang
lain dan menolong mereka.
6. Saling
mempercayai secara penuh
Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita bertindak
dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi siapapun, dan akan
menghasilkan kebaikan juga. Alih-alih mengendalikan anak didik dengan
ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan kecerdasan masing-masing
pihak untuk memecahkan masalah dengan komunikasi yang baik dan negosiasi.
Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan kepercayaan itu
dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya. Tentu
saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan membabi buta.
Kita harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara
terus menerus.
7. Ketekunan
dan kesabaran
Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat
revolusioner. Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun,
tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada
tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan. Ketika
kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat aktif dan
bergolak. Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa pemikiran atas apa
yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi.
Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk berpikir tentang
tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan bertindak efektif.
Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang kecil dibandingkan
terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan tidak dipersiapkan. Peluang
baru pasti akan muncul kemudian, jika kita berusaha memecahkan persoalan,
karena di lain waktu kita akan siap untuk bertindak dengan cara yang baik.
Tidak seperti cara militer yang cepat dan kasar, pendidikan tanpa kekerasan
bersifat melambat dan dimulai dengan peringatan-peringatan untuk memberikan
kesempatan kepada anak didik secara sadar berpikir bagaimana seharusnya.
Kita tidak menghendaki anak didik bereaksi dengan cepat secara insting.
Kita menghendaki anak didik mengetahui metoda-metoda kita sehingga mereka
dapat menanggapi sama tenang dan cerdasnya.
Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita.
Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain. Jika
jalannya mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga
memerlukan perhatian. Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita
dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan.
Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan di saat
yang sama gigih dalam membantu. Ketika anak didik mengakui bahwa mereka
sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka.
Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas
anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara
pendidik sebagai orang tua, bersama-sama dengan anak didik dalam damai dan
keadilan
4.
PENUTUP
Ø Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik
bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan
sanksi kepada segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan
siswa itu sendiri.
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam
pendidikan antara lain, landasan hukum, psikologi, sosial budaya dan filsafat.
Hal ini dapat dicegah apabila guru melaksanakan 7 prinsip pendidikan tanpa
kekerasan.
Ø Saran
Diharapkan, dengan penegakan displin di semua unsur, tidak terdengar lagi
seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar. Dan
diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan terhadap
temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap menerima sanksi.
Kita semua berharap kisah-kisah suram kekerasan oleh pendidik dan orang tua
secara umum tidak terjadi lagi. Pendidikan dengan kekerasan hanya akan
melahirkan traumatis-traumatis yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita
semua pasti tidak menghendaki hal demikian terus berlanjut tanpa berkeputusan,
kemudian melahirkan generasi-generasi penuh kekerasan.
DAFTAR
PUSTAKA
TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN
“ MASALAH PENDIDIKAN DAN CARA
PENANGGULANGANNYA “
DOSEN PEMBIMBING : Prof.Dr.Yohanes Bahari,M.Si
MAKALAH
Disusun Oleh :
ASRI WIYANDARI
F01110019
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar