TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
“PERAN PENDIDIKAN GUNA MENOPANG KEARIFAN LOKAL; MENUJU
KEMANDIRIAN INDONESIA DALAM PERSAINGAN GLOBAL “
DOSEN : Prof. Dr. H. MASHUDI, M.Pd
MAKALAH
Disusun Oleh :
REZA PRAYUDA
F01110061
PENDIDIKAN
EKONOMI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
PONTIANAK
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “PERAN PENDIDIKAN GUNA MENOPANG KEARIFAN LOKAL; MENUJU KEMANDIRIAN INDONESIA DALAM PERSAINGAN GLOBAL ”.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat
tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan
itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita sekalian.
Pontianak, November 2011
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia memiliki latar kebudayaan yang
multi dimensi, begitu pula dengan aspek bahasa, agama, ras dan warna kulit
sehingga aspek pluralitas menjadi karakter dari bangsa ini. Dimensi keragaman
diatas adalah perwujudan dari integritas bangsa itu sendiri. Hal ini merupakan
konsekuensi dari aspek pluralitas dan multi dimensi masyarakat Indonesia, untuk
itu transformasi kearifan lokal melalui wadah pendidikan menjadi sebuah
alternatif untuk kembali membangun kemandirian bangsa di era global sekarang
ini. Kearifan lokal sering
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat
(local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal
adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola
lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu
daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan
kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi
geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.
Menggali dan menanamkan kembali
kearifan lokal secara inheren melalui pendidikan dapat dikatakan sebagai
gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya
membangun identitas bangsa, dan, sebagai semacam filter dalam menyeleksi
pengaruh budaya “lain”. Nilai-nilai kearifan lokal itu
meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas
bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada munculnya
sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif.
Peran pendidikan yang secara esensi mengandung upaya
“memanusiakan manusia” merupakan sebuah perwujudan pembentukan karakter
masyarakat yang lebih mandiri dengan berangkat dari kearifan lokal
masing-masing daerah. Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat dikatakan adalah
model pendidikan yang memiliki relevansi tinggi bagi pengembangan kecakapan
hidup (life skills) dengan bertumpu pada pemberdayaan ketempilan dan potensi lokal
di masing-masing daerah.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup
dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada
dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa
secara nasional. Pendidikan dalam arti luas tidak hanya terjebak pada terminologi
pendidikan formal, yang memiliki acuan perjenjangan yang jelas. Namun lebih
dari itu pendidikan baik formal maupun non-formal harus mampu melakukan
transformasi local wisdom dalam aktifitas pendidikan itu sendiri. Kerangka
sederhana ini memungkinkan adanya hubungan relasional antara pendidikan dan
kebudayaan. Dengan pendidikan orang dapat berbudaya, dan melalui budaya
persaingan di era global menjadi lebih berarti.
B. Rumusan Masalah
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan
beberapa pertanyaan yang nantinya akan menjadi obyek kajian dalam perumusan
makalah ini, yang mencakup:
1. Bagaimana mengintegrasikan pendidikan dan kebudayaan? Peran pendidikan dalam transformasi budaya untuk membangun kemandirian bangsa dalam persaingan global.
2. Memaknai kearifan lokal sebagai intisari dari kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Mampukah kekuatan local wisdom menjadi kekuatan dalam persaingan di era global?
3. Bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Membaca ulang peran masyarakat lokal dalam melestarikan pendidikan dan kebudayaan.
1. Bagaimana mengintegrasikan pendidikan dan kebudayaan? Peran pendidikan dalam transformasi budaya untuk membangun kemandirian bangsa dalam persaingan global.
2. Memaknai kearifan lokal sebagai intisari dari kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Mampukah kekuatan local wisdom menjadi kekuatan dalam persaingan di era global?
3. Bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Membaca ulang peran masyarakat lokal dalam melestarikan pendidikan dan kebudayaan.
C. Tujuan Penulisan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa kearifan lokal
yang ada di Indonesia akan menemukan eksistensinya jika ditopang oleh usaha
mengintegrasikan antara pendidikan dan kebudayaan, sehingga dari situ
diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat guna melestarikan dan
mengembangkan local wisdom masing-masing untuk bersaing di era globalisasi.
Berangkat dari kerangka diatas maka tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pola integrasi antara pendidikan dan kebudayaan, dan peran pendidikan dalam melakukan transformasi budaya untuk membangun kemandirian bangsa dalam persaingan global.
1. Untuk mengetahui bagaimana pola integrasi antara pendidikan dan kebudayaan, dan peran pendidikan dalam melakukan transformasi budaya untuk membangun kemandirian bangsa dalam persaingan global.
2. Memaknai intisari kearifan lokal sebagai
khasanah kekayaan bangsa, sehingga kekuatan itu harus terus digali untuk
membentuk kebudayaan yang mampu bersaing.
3. Mengetahui konsistensi masyarakat Indonesia dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional melalui aspek pendidikan.
3. Mengetahui konsistensi masyarakat Indonesia dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional melalui aspek pendidikan.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memberikan pemahaman dan menempatkan secara proporsional aspek
pendidikan dalam memajukan kearifan lokal bangsa Indonesia.
2. Diharapkan dapat menambah khazanah dan memberi kontribusi positif
bagi pengembangan studi pendidikan dan kebudayaan.
3. Memberikan gambaran akan kekayaan budaya yang seharusnya menjadi
kekuatan untuk bersaing di dunia Internasional.
4. Menjadikan kekuatan menulis sebagai kultur intelektual untuk
membangun peradaban masyarakat Indonesia.
5. Memposisikan peranan penting pendidikan dalam membangun kekuatan
kebudayaan.
E. Metode Penulisan
Proses penulisan makalah ini berangkat dari minat untuk
melakukan riset secara sederhana dalam lingkup literatur kepustakaan yang
selanjutnya membentuk gagasan, konsep maupun teori. Proses ini dilakukan
melalui penelusuran dan menelaah referensi-referensi yang ada kaitannya dengan
tema yang penulis angkat. Sebagai layaknya studi kualitatif yang sederhana
proses bimbingan dan dialog secara intensif juga kami lakukan dalam perumusan
naskah ini kepada dosen pembimbing yang bersangkutan.
Karena proses penulisan ini menggunakan pola riset yang sederhana maka pola pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca serta mempelajari buku atau karya yang telah dikelompokkan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan buku-buku pendidikan dan kebudayaan yang kemudian dikorelasikan dengan tema yang diangkat. Sedangkan sumber sekunder adalah buku penopang yang lain. Begitu juga dengan jurnal, dan data-data yang bisa dipertanggung jawabkan.
Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Deskriptif dalam artian metode yang digunakan memakai pencarian data yang berkaitan dengan tema yang diangkat dengan interpretasi yang jelas, tepat, akurat dan sistematis. Sedangkan analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara kritis, cermat dan terarah.
Karena proses penulisan ini menggunakan pola riset yang sederhana maka pola pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca serta mempelajari buku atau karya yang telah dikelompokkan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan buku-buku pendidikan dan kebudayaan yang kemudian dikorelasikan dengan tema yang diangkat. Sedangkan sumber sekunder adalah buku penopang yang lain. Begitu juga dengan jurnal, dan data-data yang bisa dipertanggung jawabkan.
Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Deskriptif dalam artian metode yang digunakan memakai pencarian data yang berkaitan dengan tema yang diangkat dengan interpretasi yang jelas, tepat, akurat dan sistematis. Sedangkan analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara kritis, cermat dan terarah.
Untuk memperoleh analisis yang
komprehensif, berikut akan diurai komposisi penyusunan makalah ini yakni
terdiri atas lima bab yang terdiri dari: Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang
memuat tentang latar belakang, rumusan maslah, tujuan penulisan dan manfaat
penulisan. Bab Kedua, mengurai tentang telaah pustaka.
Bab Ketiga, mengurai tentang metode penulisan. Bab Keempat, menjelaskan tentang
pembahasan dari tema yang sedang diangkat. Sedangkan Bab Kelima, merupakan
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
Aspek kebudayaan memiliki peranan penting dalam pembangunan jati diri bangsa, ini bisa kita lihat melalui sejauh mana kemudian aspek kearifan lokal mampu menjadi sebuah daya tarik. Daya tarik tersebut tidak harus dimaknai sebagai ruang tontonan belaka bagi wisatawan asing, namun lebih dari itu kearifan lokal harus mampu membentuk karakter genrasi bangsa sehingga kebudayaan kemudian menjadi trend generasi muda. Dinamika ini adalah bagian dari upaya melakukan counter hegemoni atas dominasi budaya yang merasuk ke Indonesia.
Fungsi utama pendidikan di tiap
tingkat adalah untuk menyediakan pelatihan cara-cara berpikir mendasar yang
terwakili dalam sejarah, ilmu pengetahuan alam, matematika, kesusasteraan,
bahasa, kesenian, dan lain-lain yang selama ini berkembang dalam pencarian
pengetahuan yang dapat digunakan oleh manusia, perjalanan menggapai pemahaman
budaya, dan upaya berkelanjutan untuk meraih kekuatan intelektual. Seperti agen-agen sosial lain yang memusatkan perhatian ke tujuan
yang sama, sekolah musti bekerja dalam konteks kegiatan khasnya sendiri. Dengan
kata lain, kenyataan bahwa sekolah adalah sebuah agen pelatihan intelektual
menentukan dan berkaitan dengan sumbangan khasnya kepada umat manusia.
Theodore Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of
Education” (1957) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan
dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah
pengembangan nilai. Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya
"Primitive Culture" (1929) menulis kebudayaan mempunyai tiga komponen
strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta
bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Masih
menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya
masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa
adanya pendidikan. Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka posisi pendidikan
dengan kebudayaan berada dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi
(reciprocal relationship); atau pendidikan merupakan variabel yang mendorong
terjadinya perubahan kebudayaan di dalam tata hubungan asimetris di mana suatu
variabel mempengaruhi variabel yang lainnya (causal asymetrical relationship). Dalam
hubungannya dengan kearifan lokal, pendidikan menjadi sebuah wadah
transformatif untuk memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai kekuatan
kebudayaan untuk menjadikan Indonesia mampu bersaing di era globalisasi.
Sehingga pendidikan dan kebudayaan memiliki peranan penting untuk menopang
kearifan lokal dalam persaingan bangsa Indonesia di era global. H.A.R. Tilaar mengemukakan keterkaitan yang sangat erat antara
pendidikan dan kebudayaan. Bahkan kaitan keduanya adalah kaitan ontologis dan
epistomologis. Dalam rangka lahirnya etno-nasionalisme, keterkaitan antara
pendidikan dan kebudayaan akan semakin menonjol. Di dalam praksis pendidikan
untuk pengembangan sikap toleransi dalam masyarakat demokratis terdapat
berbagai model pendidikan untuk kesadaran dan pengembangan kohesi sosial, yaitu
pendidikan multi-kultural, pendidikan trans-kultural, dan pendidikan
inter-kultural. Pendidikan inter-kulutural ditekankan kepada eksistensi
budaya-budaya atau sub-budaya yang ada.
Dalam rangka pengembangan kohesi sosial maka yang
diperlukan ialah kegiatan interaksi budaya. Bentuk yang lain ialah
trans-kultural yang mencari bentuk-bentuk universalitas dari budaya-budaya yang
ada. Model trans-kultural ini barangkali yang telah kita gunakan di dalam
praksis pendidikan selama Orde Baru. Bagi
masyarakat Indonesia dalam rangka otonomi daerah, model yang tepat adalah
pendidikan multi-kultural. Dimana masyarakat masing-masing mengembangkan
kearifan lokal yang ada dan fungsi pemerintah adalah memberikan legitimasi
terhadap produk kebudayaan yang ada.
A. Pendidikan Adalah
Kebudayaan
Terdapat ratusan suku bangsa yang ada
di Indonesia, secara signifikan perlu dilihat sebagai aset negara berkat
pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya
yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan
nasional. Di pihak lain, setiap suku bangsa juga
memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara suku bangsa yang satu
dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi
hambatan-hambatan budaya masing-masing suku bangsa, dan secara aktif memberi
dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa. Hal ini
merupakan fungsi dari keragaman yang ada di Indonesia, sehingga aspek kebudayaan
harus menemukan eksistensinya pada cara pandang (world view) masyarakat
Indonesia. Fungsi pendidikan kemudian, bagaimana menjadikan kekuatan kebudayaan
itu melalui kerafian lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami
dinamisasi yang produktif. Produktifitas kebudayaan yang dimaksudkan adalah
transformasi kearifan lokal dalam kanca Internasional, hal ini memungkinkan
jika ditopang oleh peran pendidikan dan aktor intelektualnya. Sehingga menjadi
tindakan yang keliru kemudian memisahkan antara proses pendidikan dan
kebudayaan.
Setiap situasi pendidikan memuat empat
unsur pokok: guru, agen utama yang bertujuan, yang mengarahkan, yang memikul
tanggung jawab atas proses pendidikan; murid, yang menjadi obyek upaya
pendidikan, dalam arti perilakunya akan diubah, sikap-sikapnya akan dipupuk dan
dimodifikasi; bahan pengajaran, atau bidang studi, atau pengetahuan, yang akan
ditanamkan pada murid; tujuan, sasaran, cita-cita, hasil akhir yang diharapkan
dari proses pendidikan, yang menjadi sumber penentu arah pendidikan.
Renungan dan eksplorasi diatas dapat dianalisis bahwa kekuatan pendidikan dalam prakteknya harus memiliki target dan sasaran yang jelas. Untuk itu aspek kebudayaan dalam praktek pendidikan dapat ditempatkan dan diposisikan pada instrumen yang terarah pada penguatan kebudayaan. Sehingga inkorporasi kearifan lokal menjadi perbincangan yang hangat dalam praktek pendidikan, dari situ kemudian kekuatan budaya menjadi daya saing di era global.
Renungan dan eksplorasi diatas dapat dianalisis bahwa kekuatan pendidikan dalam prakteknya harus memiliki target dan sasaran yang jelas. Untuk itu aspek kebudayaan dalam praktek pendidikan dapat ditempatkan dan diposisikan pada instrumen yang terarah pada penguatan kebudayaan. Sehingga inkorporasi kearifan lokal menjadi perbincangan yang hangat dalam praktek pendidikan, dari situ kemudian kekuatan budaya menjadi daya saing di era global.
Kebudayaan lazimnya dipahami sebagai
ekspresi dari kepribadian yang terdiri dari unsur-unsur cipta, rasa dan karsa
atau singkatnya akal-budi. Jika diasumsikan bahwa kalbu itu sudah tercakup
dalam akal, pemberian Tuhan yang tertinggi kepada makhluk manusia, maka
kebudayaan adalah hasil proses bekerjanya akal. Dalam
pemahaman ini, kebudayaan bukanlah statis melainkan dinamis, yaitu terus
berubah seiring perkembangan zaman. Logika sederhana ini dapat digiring pada
pemberdayaan kearifan lokal yang secara integral menyatu dengan semangat zaman.
Di era sekarang ini kebudayaan secara tidak sadar
diperlakukan sebagai “kata benda”, dalam artian bahwa kebudayaan
diartikulasikan sebagai warisan budaya berupa tradisi dan obyek wisata.
Kebudayaan dipariwisatakan. Kebudayaan tidak dilihat sebagai sesuatu yang dinamis
untuk mendorong perubahan bangsa dalam persaingan dunia Internasional.
Akibatnya kemudian, pendidikan tidak diagendakan untuk merubah mentalitas
bangsa.
Potret kelam diatas merupakan tantangan yang harus
sesegera mungkin diatasi, sehingga dimensi kearifan lokal tidak terkesan
menjadi barang tontonan yang dinikmati dalam konotasi pariwisata. Namun lebih
dari itu semangat filosofis dari kearifan lokal harus mampu membentuk karakter
generasi bangsa dimasing-masing daerah. Untuk itu guna memajukan kemadirian
bangsa Indonesia harus dimulai dengan pengutan kebudayaan melalui tranformasi
pendidikan. Kebudayaan merepresentasikan pengalaman hidup, hasil karya manusia
dan bentuk kehidupan yang ditempa dalam hubungan sosial yang tidak adil dan
dialektis, yakni kelompok-kelompok yang berbeda dengan sendirinya terbentuk
selama kurun waktu tertentu. Kebudayaan merupakan wujud dari kegiatan produksi,
baik itu produksi budaya dan dinamisasi pendidikan yang prosesnya sangat
berhubungan dengan pembentukan struktur sosialnya, menyangkut gender, ras dan
suku bangsa sebuah negara. Kebudayaan juga merupakan kegiatan produksi yang
membantu pemuka masyarakat (pendidik) untuk memajukan masyarakat melalui
penggunaan bahasa dan sumber-sumber lainnya.
Telah jelas kemudian hubungan relasional antara
pendidikan dan kebudayaan dalam kemandirian menuju kemajuan bangsa Indonesia.
Secara eksplisit telah dikemuakan oleh Paulo Freire diatas bahwa produksi
budaya kemudian membentuk tatanan sosial masyarakat, sehingga bila dianalisis
lebih jauh peran pendidikan dalam dimensi itu sebagai mediator penyelenggaraan
praktek pendidikan yang lebih humanis dan terarah pada pembentukan masyarakat
yang berbudaya. Hal ini dimungkinkan melihat corak pendidikan yang secara
mendasar bersifat fleksibel dan terbuka untuk disiplin ilmu apapun. Sehingga
transformasi sosial terjadi melalui hunbungan dialektis antara guru sebagai
agen kebudayaan dan murid sebagai pelanjut dan pelestari dari local wisdom yang
ada.
Di era sekarang ini, kita kemudian diperkenalkan dengan
pendidikan multikulturalisme. Multikulturalisme memberikan peluang bagi
kebangkitan etnik dan kebudayaan lokal. Semangat etnisitas dan lokalitas itu
tiada kuasa ditolak dalam masyarakat multikultural. Yang terpenting dilakukan
adalah bagaimana meningkatkan pemahaman yang benar tentang etnisitas dan
menemukan cara yang tepat untuk mengelola keberagaman dan kebangkitan etnik.
Pemahaman yang tidak hanya melahirkan primordialisme yang terarah pada
disintegrasi bangsa, tetapi semangat pemersatu yang menjadikan Indonesia
menjadi lebih dinamis dalam membangun peradabannya.
Pemahaman etnisitas diatas merupakan sebuah upaya untuk
melakukan pola integrasi kebudayaan, integrasi dalam ruang lingkup yang luas
dan tidak parsial yaitu menjadikan kebudayaan lokal menjadi spirit dalam
persaingan global. Pendidikan multikulturalisme pada dasarnya tumbuh dalam
semangat globalisasi, yang ditopang oleh kekuatan informasi yang begitu dahsyat
sehingga aspek teritorial sudah tidak menjadi kendala untuk mengkampanyekan kearifan
lokal itu sendiri. Dari situ kemudian aspek pragmatisme pendidikan dapat
terkikis melalui kekuatan kebudayaan yang didorong oleh pemahaman etnisitas
dimasing-masing daerah.
Kita harus menyadari bahwa pendidikan tidaklah identik
dengan mencari kerja. Asumsi sekolah sama dengan mencari kerja adalah akibat
dari budaya pragmatisme. Mencari kerja bukanlah inti orang belajar dan sekolah.
Mencari kerja adalah bagian, bukan tujuan utama orang bersekolah. Belajar dan
bersekolah adalah untuk memahami kehidupan, memahami bagimana realitas
eksistensial dikonstruksi, memahami bagaimana seharusnya hidup di dan bersama
dunia, dan bagaimana menjadi subyek ditengah-tengah perubahan sosial-budaya.
Inilah inti pendidikan. Ketika pemahaman
setiap komunitas itu dipahami sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan murni maka
citra yang terbangun pada akhirnya adalah sebuah pluralitas budaya yang
terpisah satu sama lain. Cara itu pada gilirannya membentuk sebuah pengakuan
dan pengukuhan terhadap keterpisahan antar budaya. Disinilah kemudian perlunya
kontak kultural. Kontak kultural tidak hanya menumbuhkan toleransi, pengakuan
akan keberadaan sebuah kebudayaan yang terpisah, melainkan dapat dipastikan
akan membuahkan saling pengaruh, saling memperkaya antar budaya, dan gagasan
multikulturalisme.
Jika kita berpendapat bahwpa
pendidikan adalah kebudayaan, dan dalam pengembangan kebudayaan membutuhkan
media pendidikan, maka keduanya menjadi dua pendulum yang secara sinergis tidak
dapat dipisahkan baik secara politik maupun kultur masyarakat. Tugas kita kemudian bagaimana menjadikan nilai kebudayaan itu
menjadi pola konsep dan prakter dalam aktifitas pendidikan. Bagaimana mencetak
generasi bangsa melalui semangat pendidikan yang menjunjung tingga kearifan
lokal bangsanya sendiri.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara aspek
kebudayaan dan pendidikan diakui dalam keragaman masyarakat Indonesia yang
multi dimensi. Hal ini meniscayakan adanya perbedaan dari masing-masing
kelompok, maka fungsi pendidikan adalah menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah
kekayaan yang semestinya disikapi sebagai rahmat dan bukan konflik. Peniscayaan
tersebut memungkinkan adanya kerja sama sosial dalam praktek kebudayaan
masing-masing daerah. Modal ini adalah intisari dari proses persaingan di era
global. Falsafah pendidikan
yaitu aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan falsafah itu sebagai jalan
untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Ungkapan ini
kemudian meniscayakan adanya aktifitas pikiran, dan aktifitas pikiran secara
sederhana dibentuk oleh lingkungan budaya yang terjadi diluar kita. Maka secara
esensial aspek pendidikan memiliki peranan dalam menceritakan kronologis
sejarah bagaimana kebudayaan itu dibentuk dan bagaimana hari ini kebudayaan itu
dikembangkan oleh generasi yang menjadi tonggak peradaban masyarakat Indonesia.
B. Kearifan Lokal; Menuai
Intisari Masyarakat Madani Indonesia.
Membincang mengenai kearifan lokal, maka kita akan masuk pada sebuah
mainstream yang sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Aspek ini merupakan
varian utama guna membentuk apa yang dicitakan, yakni penciptaan sebuah tatanan
masyarakat madani. Masyarakat madani adalah manifestasi sebuah corak
kemasyarakatan dalam sebuah negara, dalam hal ini masyarakat madani memiliki
ciri tertentu, yang secara spesifik terbagi dalam beberapa bagian yaitu,
masyarakat kritis dan obyektif, terbuka dan dinamis, berbudaya dalam aktifitas
sosialnya. Aspek pertama kemudian
memuat masyarakat yang kritis terhadap realitas eksternal di sekelilingnya,
selalu berupaya memposisikan perbedaan sebagai rahmat dan bukan konflik. Ciri
kedua kemudian mengandung muatan dalam arti terbuka atas segala bentuk local
wisdom yang ada serta mampu memberikan reformulasi budaya seiring perkembangan
zamannya. Sedangkan ciri yang ketiga adalah masyarakat dimana aktifitas
sosialnya ditopang oleh mentalitas kebudayaan yang membentuk filosofi pandangan
hidupnya.
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda
dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung
mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu
perubahan paradigma (paradigm shift) dari pendidikan nasional untuk menghadapi
proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita
era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia.
Oleh sebab itu paradigma baru pendidikan nasional harus diarahkan kepada
terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.
Telah disebutkan diatas bahwa paradigma pendidikan nasional harus mengalami paradigm shift, secara eksploratif bisa kita analisis bahwa interpretasi awal yang dilakukan adalah menjadikan nuansa kearifan lokal sebagai corak pembentukan paradigma pendidikan. Pendidikan dalam hal ini berperan sebagai ruang penopang dari peradaban masyarakat madani. Sebuah paradigma yang meniscayakan adanya nilai-nilai kearifan lokal dalam teori dan prakteknya. Pendikan pada dasarnya memiliki keterkaitan nilai dengan kebudayaan, maka dari itu penopang penciptaan masyarakat madani adalah upaya pengembangan kearifan lokal dalam ruang lingkup pendidikan. Keragaman masyarakat Indonesia, mengharuskan struktur sosial kita untuk terbiasa dengan perbedaan. Disinilah letak kekayaan sumber daya yang ada di Indonesia. Persoalannya kemudian adalah aspek pragmatisme dalam pola hubungan kemasyarakat juga ditopang oleh kecendrungan kepada materi yang berlebihan oleh struktur pemerintahan. Sehingga kekayaan dari kearifan lokal itu secara tidak sadar menjadi “barang dagangan” kepada para wisatawan. Sehingga pemaknaan terhadap kearifan lokal secara serentak disikapi oleh masyarakat sebagai simbol etnisitas yang dimanifestasikan lewat pakaian adat, bahasa daerah dan situs kebuayaan. Jadi secara sederhana orang yang berbudaya adalah orang yang memiliki pakaian dan mampu berbahasa daerah. Inilah yang kami sebut sebagai kelemahan kita dalam menyikapi kebudayaan, sehingga perubahan paradigma mennjadi penting dalam tata nilai pendidikan dan kebudayaan.
Telah disebutkan diatas bahwa paradigma pendidikan nasional harus mengalami paradigm shift, secara eksploratif bisa kita analisis bahwa interpretasi awal yang dilakukan adalah menjadikan nuansa kearifan lokal sebagai corak pembentukan paradigma pendidikan. Pendidikan dalam hal ini berperan sebagai ruang penopang dari peradaban masyarakat madani. Sebuah paradigma yang meniscayakan adanya nilai-nilai kearifan lokal dalam teori dan prakteknya. Pendikan pada dasarnya memiliki keterkaitan nilai dengan kebudayaan, maka dari itu penopang penciptaan masyarakat madani adalah upaya pengembangan kearifan lokal dalam ruang lingkup pendidikan. Keragaman masyarakat Indonesia, mengharuskan struktur sosial kita untuk terbiasa dengan perbedaan. Disinilah letak kekayaan sumber daya yang ada di Indonesia. Persoalannya kemudian adalah aspek pragmatisme dalam pola hubungan kemasyarakat juga ditopang oleh kecendrungan kepada materi yang berlebihan oleh struktur pemerintahan. Sehingga kekayaan dari kearifan lokal itu secara tidak sadar menjadi “barang dagangan” kepada para wisatawan. Sehingga pemaknaan terhadap kearifan lokal secara serentak disikapi oleh masyarakat sebagai simbol etnisitas yang dimanifestasikan lewat pakaian adat, bahasa daerah dan situs kebuayaan. Jadi secara sederhana orang yang berbudaya adalah orang yang memiliki pakaian dan mampu berbahasa daerah. Inilah yang kami sebut sebagai kelemahan kita dalam menyikapi kebudayaan, sehingga perubahan paradigma mennjadi penting dalam tata nilai pendidikan dan kebudayaan.
Masyarakat madani Indonesia seperti yang kami jelaskan diatas
adalah masyarakat yang secara adat istiadan beragam namun memiliki semangat
persatuan dalam konstelasi persaingan global. Pengintegrasian atau akultirasi
kebudayaan suku bangsa yang ada di Indonesia bukan berarti menyatukan adat
istiadat itu dalam satu dominasi kebudayaan. Namun bagaimana menjadikan
keragaman local wisdom sebagai tali pemersatu dari suku bangsa yang ada di
Indonesia. Dengan begitu masyarakat madani adalah masyarakat yang mampu terbuka
dan menghargai keragaman budaya bangsanya seindiri.
Masyarakat tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena
hanya manusia saja yang hidup bermasyarakat yaitu hidup bersama-sama dengan
manusia lain dan saling memandang sebagai penanggung kewajiban dan hak.
Sebaliknya manusia pun tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Seorang manusia
yang tidak pernah mengalami hidup bermasyarakat, tidak dapat menunaikan
bakat-bakat manusianya yaitu mencapai kebudayaan. Dengan kata lain dimana orang
hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan.
Hubungan yang erat diatas merupakan sebuah indikasi
bahwa dalam diri manusia, ada kecendrungan untuk melakukan pola interaksi
dengan sesama manusia dan juga lingkungannya. Intraksi yang bersifat dialektis
tersebut yang membentuk sebuah kebudayaan. Tinggal kemudian bagaimana fungsi
manusia Indonesia mampu mengarahkan kebudayaannya pada ruang-ruang yang
produktif untuk membentuk sebuah tatanan peradaban bangsa yang lebih mandiri
dan mampu bersaing.
Dalam perspektif pendidikan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem ‘ideologi dominan’ yang tengah berlaku dimasyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif kearah transformasi sosial budaya menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan stuktur ketidak adilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial budaya yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin bisa netral, obyektif maupun detachmen dari kondisi masyarakat.
Dalam perspektif pendidikan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem ‘ideologi dominan’ yang tengah berlaku dimasyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif kearah transformasi sosial budaya menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan stuktur ketidak adilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial budaya yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin bisa netral, obyektif maupun detachmen dari kondisi masyarakat.
Berangkat dari perspektif pendidikan
kritis diatas, maka upaya untuk menuai intisari masyarakat madani di Indonesia
kemudian harus diposisikan pada pemberdayaan wadah pendidikan yang terarah pada
sebuah keberpihakan terhadap pengembangan kebudayaan yang dimanifestasikan
melalui kearifan lokal masing-masing suku bangsa Indonesia. Sebab pendidikan tidak bisa dilepaskan dari manusia dan manusia
memiliki keterkaitan dengan kebudayaan yang secara deterministik membentuk
dirinya.
Azyumardi azra, seorang pemikir Indonesia dewasa ini, menegaskan bahwa perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik disamping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu bangsa atau Negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga mereka betul-betul siap menyongsong kehidupan.
Azyumardi azra, seorang pemikir Indonesia dewasa ini, menegaskan bahwa perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik disamping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu bangsa atau Negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga mereka betul-betul siap menyongsong kehidupan.
Fungsi praktek pengajaran secara mendasar
seharusnya diletakkan pada bagaimana sebenarnya peserta didik mampu memahami
kultur kebudayaan dan local wisdom yang ada disekitarnya. Sehingga pengetahuan tentang kekayaan akan kearifan lokal tersebut
yang nantinya akan membentuk karakter intelektual peserta didik yang tidak lain
adalah genarasi pelanjut perjuangan bangsa. Corak pendidikan yang seperti
inilah yang diharapkan mampu membentuk kesadaran generasi bangsa untuk kembali
menjadikan kebudayaan sepagai pilar utama dari masyarakat madani.
Kebudayaan masyarakat kota yang
berbasis agraris dapat ditunjuk secara khusus sebagai suatu jenis yang berbeda,
baik dengan jenis kebudayaan pra-melek huruf yang mendahuluinya dan dengan
budaya teknikalistik modern yang telah mengikutinya. Berbeda dengan masyarakat
sebelum munculnya kota, bahkan dengan masyarakat pertanian sebelum munculnya
kota-kota, masyarakat mengenal suatu tingkat kompleksitas sosial dan kultural
yang tinggi; suatu kompleksitas yang diwakili bukan saja oleh kehadiran
kota-kota, tetapi juga oleh tulisan, dan oleh semua.Ini menyiratkan
spesialisasi yang berskala luas dari kelompok yang berbeda dari perkembangan
tradisi kultural yang kumulatif. Jika ingin sedikit melakukan sedikit refleksi dan melontarkan
pertanyaan, sebenarnya bentuk kebudayaan Indonesia itu seperti apa? Pertanyaan
diatas merupakan sebuah instrumentasi bagaimana sebenarnya produk kearifan
lokal itu dibentuk oleh sejarah masyarakat Indonesia yang agararis dan maritim.
Dengan demikian kita bisa menganalisa bahwa dari masing-masing bentuk kearifan
lokal suku bangsa yang ada di Indonesia merupakan representasi dari model
masyarakat agraris dan maritim. Dan ini secara integral mengikat masyarakat
dari Sabang sampai Merauke.
Dari kerangka diatas dapat ditarik sebuah benang merah,
bahwa masyarakat madani Indonesia adalah masyarakat yang menjadikan dua
kekuatan agararis dan maritim itu dalam membentuk peradabannya. Sebab pola
akulturasi budaya dari benang merah diatas secara proposisi historis
menghubungkan segenap masyarakat Indonesia dimulai dari model kerajaan hingga
zaman modern seperti sekarang ini. Kekuatan
agraris dan maritim tidak hanya harus dimaknai sebagai basis ekomomi bangsa,
namun lebih dari itu semangat agraria adalah nuansa yang secara uneversal
dimiliki oleh seluruh elemen suku bangsa Indonesia. Begitu juga dengan kekuatan
maritim merupakan aspek penghubung maysarakat Indonesia dari masa ke masa,
kekuatan maritimlah yang telah mempertemukan suku bangsa Jawa dengan Bugis,
suku bangsa Kalimantan dan Sumatera, begitu seterusnya. Disinilah integrasi
kebangsaan dimulai dan diperkuat oleh kekuatan kearifan lokal masing-masing
menuju persaingan Indonesia di era global.
Kearifan lokal merupakan ciri dari bangsa Indonesia itu sendiri sehinggu corak masyarakat madani Indonesia dapat dilihat melalui keragaman budaya masing-masing suku bangsa. Dinamika kebudayaan tersebut merupakan semangat pluralistik masyarakat Indonesia, yang jika diarahkan oleh pola pendidikan akan membentuk sebuah persatuan bangsa yang mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Persaingan itu akan lebih bermkana jika diotpang oleh karakteristik masyarakat yang berbudaya dan menghargai perbedaan. Disinilah letak peran pendidikan.
Kearifan lokal merupakan ciri dari bangsa Indonesia itu sendiri sehinggu corak masyarakat madani Indonesia dapat dilihat melalui keragaman budaya masing-masing suku bangsa. Dinamika kebudayaan tersebut merupakan semangat pluralistik masyarakat Indonesia, yang jika diarahkan oleh pola pendidikan akan membentuk sebuah persatuan bangsa yang mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Persaingan itu akan lebih bermkana jika diotpang oleh karakteristik masyarakat yang berbudaya dan menghargai perbedaan. Disinilah letak peran pendidikan.
C. Bisakah Indonesia
Bersaing di Dunia Internasional?
Setelah bangsa Indonesia melakukan refitalisasi
kebudayaan yang direpresentasikan oleh kearifan lokal melalui wadah pendidikan.
Maka pertanyaan selanjutnya yang mesti dijawab adalah, bisakah Indonesia
bersaing di dunia Internasional? Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multi dimensi sehingga aspek
pluralistik menjadi karakter yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Sehingga
kita sudah tidak heran lagi di era milenium ini bayak pergaulan lintas etnis
yang begitu intim kita temukan. Persoalannya kemudian adalah arus globalisasi
dengan corak budaya populernya secara sadar atau tidak telah mengikis dimensi
kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Pertanyaan utama yang masih tersisa: apakah mind Asia mampu mengembangkan paduan nilai yang tepat, yang akan memelihara kekuatan tradisional niali-nilai Asia (semisal kasih sayang pada keluarga sebagai sebuah isntitusi, rasa hormat kepentingan sosial, sifat berhemat, konservatisme dalam adat istiadat sosial, rasa horhat pada pemimpin) seperti halnya penyerapan terhadap nilai-nilai Barat (penekanan pada prestasi individu, kebebasan politik dan ekonomi, rasa hormat pada hukum dan institusi-institusi nasional). Itulah tantangan yang kompleks yang dihadapi bangsa Asia. Indonesia merupakan negara kesatuan yang secara geografis merupakan bagian dari Asia, corak masyarakat Asia di mata Internasional adalah masyarakat dengan latar belakang budaya yang memiliki kesamaan secara garis besar seperti dikemukakan diatas. Aspek kebudayaan itu sering diistilahkan sebagai kebudayaan Timur. Hal ini merupakan ciri dari masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pola tenggag rasa dan gotong royong. Sehingga dalam konstelasi Internasional, Indonesia seringkali menjadikan kekuatan keragaman budaya sebagai ruang dimana karakteristik tersebut dijadikan “senjata” untuk bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain.
Pertanyaan utama yang masih tersisa: apakah mind Asia mampu mengembangkan paduan nilai yang tepat, yang akan memelihara kekuatan tradisional niali-nilai Asia (semisal kasih sayang pada keluarga sebagai sebuah isntitusi, rasa hormat kepentingan sosial, sifat berhemat, konservatisme dalam adat istiadat sosial, rasa horhat pada pemimpin) seperti halnya penyerapan terhadap nilai-nilai Barat (penekanan pada prestasi individu, kebebasan politik dan ekonomi, rasa hormat pada hukum dan institusi-institusi nasional). Itulah tantangan yang kompleks yang dihadapi bangsa Asia. Indonesia merupakan negara kesatuan yang secara geografis merupakan bagian dari Asia, corak masyarakat Asia di mata Internasional adalah masyarakat dengan latar belakang budaya yang memiliki kesamaan secara garis besar seperti dikemukakan diatas. Aspek kebudayaan itu sering diistilahkan sebagai kebudayaan Timur. Hal ini merupakan ciri dari masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pola tenggag rasa dan gotong royong. Sehingga dalam konstelasi Internasional, Indonesia seringkali menjadikan kekuatan keragaman budaya sebagai ruang dimana karakteristik tersebut dijadikan “senjata” untuk bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain.
Menuju persaingan dalam konstelasi Indternasional adalah
sebuah upaya yang cukup signifikan untuk membangun kemandirian bagsa. Namun hal
ini secara intern juga harus memiliki persiapan akan tantangan yang akan
dihadapi kedepannya. Jika kemudian kebudayaan menjadi sebuah acuan dalam
melakukan sebuah upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam pola
pembangunan jati diri bangsa. Maka secara eksplisit juga harus dirumuskan
beberapa antisipasi terhadap beberapa persoalan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia.
Pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme.
Pluralisme tidak benar sekadar pengakuan (pasif) akan kenyataan kemajemukan
atau pluralitas. Lebih dari itu, kesadaran kemajemukan menghendaki tanggapan
yang positif kepada kenyataan kemajemukan itu sendiri secara aktif. Seseorang
akan dapat menyesuaikan diri kepada cara hidup demokratis jika ia mampu
mendisiplin dirinya kearah jenis persaruan dan kesatuan yang diperoleh melalui
penggunaan kreatif dinamika dari segi-segi positif kemajemukan.
Berekenaan dengan itu, tantangan yang
nyata bagi bangsa Indonesia agaknya ialah bahwa kita berada dalam sebuah
dimensi dimana penyikapan terhadap aspek kebudayaan yang telah dipariwisatakan
tidak hanya secara politik namun juga pada aspek pengembangan kebudayaan itu
sendiri mengalami stagnasi. Tantangan yang nyata ini adalah buah dari kehidupan
modern yang secara sepihak tidak mampu diimbangi oleh penguatan kembali aspek
kearifan lokal suku bangsa Indonesia. Secara sederhana
generasi sudah merasa asing dengan intisari dari kebudayaan lokal yang berada
disekelilingnya. Untuk itu menjadikan kebudayaan dalam semangat pemersatu dan
pembentuk kemandirian bangsa melalui pendidikan merupakan sebuah alternatif
pemikiran dan model oprasionalisasi dari pembentukan peradaban bangsa Indonesia
yang lebih mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari uraian bab-bab sebelumnya
tentang Peran Pendidikan Guna Menopang Kearifan Lokal; Menuju Kemandirian
Indonesia dalam Persaingan Global, secara keseluruhan bertolak dari rumusan
masalah yang diangkat, sehingga secara global dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pendidikan secara mendasar menjadi ruang dimana
penguatan kearifan lokal itu dapat dikembangkan. Sehingga menjadi sebuah
tindakan keliru memisahkan antara proses pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan
dalam kerangka ini, harus diarahkan pada sebuah keberpihakan yang jelas
terhadap kebudayaan yang melahirkan kearifan lokal itu sendiri, dengan begitu
semangat pendidikan disisi lain menjadi sebuah penopang kearifan lokal dalam
membangun peradaban bangsa Indonesia. Sehingga kearifan lokallah yang membentuk
jati diri dan kemandirian bangsa Indonesia sebagai pilar kemajuan.
2. Keragaman masyarakat Indonesia, mengharuskan struktur
sosial kita untuk terbiasa dengan perbedaan. Disinilah letak kekayaan sumber
daya yang ada di Indonesia. Kekayaan sumber daya tersebut yang secara sinergis
akan membentuk masyarakat Indonesia yang madani. Masyarakat Indonesia yang
kritis dan obyektif, terbuka dan dinamis serta berbudaya dalam aktifitas
sosialnya. Ketika kekuatan ini telah menjadi sebuah basic need dari masyarakat
Indonesia maka kebudayaan kemudian berada pada sebuah acuan dasar untuk
menjadikan bangsa Indonesia lebih maju dan mandiri. Keragaman yang multi
dimensi tersebut harus selalu disikapi sebagai rahmat bukan dengan konflik.
Dengan begitu perbedaan sudah tidak lagi menjadi maslah yang dapat melahirkan
disintegrasi bangsa, namun perbedaan menjadi sebuah stimulus guna membangun
persatuan dan kebersamaan bangsa Indonesia itu sendiri.
3. Dengan demikian aspek kebudayaan
yang dikembangkan dan dilestarikan melalui wadah pendidikan, adalah upaya
mempersiapkan bangsa Indonesia dalam persaingan global diera moderen seperti
sekarang ini. Persaingan tersebut mengharuskan bangsa Indonesia untuk menjadi
sebuah kekuatan yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakatnya. Untuk itu
pengembangan kearifan lokal dimasing-masing suku bangsa, harus secara serius
diberikan porsi khusus untuk kembali menjadikan aspek kearifan lokal tersebut
sebagai modal dalam persaingan bangsa-bangsa di dunia.
B. Saran
B. Saran
1. Mengingat aspek kebudayaan yang ada
di Indonesia begitu beragam, maka perlu kiranya Perguruan Tinggi sebagai
reresentasi dari dunia pendidikan yang ada dimasing-masing daerah untk lebih
serius dalam melakukan eksperimen ilmiah mengenai kekanyaan etnisitas daerah
masing-masing. Dari situ kemudian perhatian secara
serius dapat dilakukan dan dikampanyekan guna kembali menjadi kearifan lokal
sebagai pilar kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga aspek kebudayaan yang beragam
tersebut mampu diketahui, dikembangkan serta menjadi karakter masyarakat
Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan latar belakang budaya.
2. Bagi para peminat dan pengkaji ilmu-ilmu budaya dan bahasa, agar terus menjadikan keragaman budaya yang ada di Indonesia sebagai obyek studi yang tidak sekedar berorientasi pada pemahaman yang bersifat komprehensif, namun lebih dari itu transformasi kepada mesyarakat adalah sebuah hal yang cukup signifikan dilakukan oleh pemerhati budaya dan bahasa. Sehingga secara politik jika hal ini dilakukan mampu menyatukan kembali departemen pendidikan dan kebudyaan, dengan begitu pengembangan secara serius mendapatkan dukungan serius pula dari pemerintah. Wallahu a’lam.
2. Bagi para peminat dan pengkaji ilmu-ilmu budaya dan bahasa, agar terus menjadikan keragaman budaya yang ada di Indonesia sebagai obyek studi yang tidak sekedar berorientasi pada pemahaman yang bersifat komprehensif, namun lebih dari itu transformasi kepada mesyarakat adalah sebuah hal yang cukup signifikan dilakukan oleh pemerhati budaya dan bahasa. Sehingga secara politik jika hal ini dilakukan mampu menyatukan kembali departemen pendidikan dan kebudyaan, dengan begitu pengembangan secara serius mendapatkan dukungan serius pula dari pemerintah. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo dkk. (2009). Menggugat Pendidikan; Fundamentalis,
Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. (2007). Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hafidz, Muslim. Kumba Sukmono Andi (ed). (2009). Membatja Oelang Indonesia. Jakarta: PB HMI Priode 2006-2008.
Hodgson, G. S. Marshall. (2002). The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Jilid Pertama: Masa Klasik Islam). Jakarta: Paramadina.
Mahbubani, Kishore. (2005). Bisakah Orang Asia Berpikir?. Jakarta: Teraju Mizan.
Nuryatno, M. Agus. (2008). Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book.
Omar, Mohammad. (1976). Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Prasetya, Tri, Joko dkk. (1998). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Raharjo, Toto (ed). Pendidikan Populer: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: INSIST Press.
Shobron, Sudarno. Jinan, Mutohharun (ed). (1999). Islam, Masyarakat Madani, dan Demokrasi. Surakarta: UMS Press.
Sumartana, Th dkk. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: DIAN/Interfidei.
Tilaar, H. A. R. (2000). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Freire, Paulo. (2007). Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hafidz, Muslim. Kumba Sukmono Andi (ed). (2009). Membatja Oelang Indonesia. Jakarta: PB HMI Priode 2006-2008.
Hodgson, G. S. Marshall. (2002). The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Jilid Pertama: Masa Klasik Islam). Jakarta: Paramadina.
Mahbubani, Kishore. (2005). Bisakah Orang Asia Berpikir?. Jakarta: Teraju Mizan.
Nuryatno, M. Agus. (2008). Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book.
Omar, Mohammad. (1976). Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Prasetya, Tri, Joko dkk. (1998). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Raharjo, Toto (ed). Pendidikan Populer: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: INSIST Press.
Shobron, Sudarno. Jinan, Mutohharun (ed). (1999). Islam, Masyarakat Madani, dan Demokrasi. Surakarta: UMS Press.
Sumartana, Th dkk. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: DIAN/Interfidei.
Tilaar, H. A. R. (2000). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar