TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH BELAJAR DAN
PEMBELAJARAN
“ PERKEMBANGAN
SOSIAL PADA ANAK HOMESCHOOLING USIA SEKOLAH DASAR (5-12 TAHUN) “
DOSEN : Prof.
Dr. H. MASHUDI, M.Pd
MAKALAH
Disusun Oleh :
HARDI
F01110023
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan kesempatan pada penulis untuk dapat melaksanakan dan
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PERKEMBANGAN SOSIAL PADA ANAK HOMESCHOOLING USIA SEKOLAH DASAR (5-12
TAHUN) ” sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
tugas terstruktur mata kuliah belajar dan pembelajaran di PRODI PENDIDIKAN
EKONOMI FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK.
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak kekurangan
dan ketidaksempurnaan karena keterbatasan data dan pengetahuan penulis serta
waktu yang ada pada saat ini, dengan rendah hati penulis paper ini mengharap
kritik dan saran yang membangun dari kalangan pembimbing untuk kesempurnaan
paper yang saya kerjakan ini.
Terlepas dari itu semua, ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan paper ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Pontianak, November 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Homeschooling. Di Indonesia dikenal pula dengan nama Sekolah Rumah. Ini adalah fenomena
yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, golongan pendidik, orangtua, dan pemerhati
pendidikan dalam 3-4 tahun terakhir. Terutama setelah liputan media massa
banyak membahas mengenai homeschooling, munculnya berbagai macam
komunitas homeschooling, dan ramainya kegiatan seminar untuk membahas
model pendidikan ini. Ramainya fenomena ini dibicarakan diantaranya berkaitan
dengan sosialisasi anak jika ia belajar di rumah, materi yang disajikan dalam
pendidikan di rumah, kesanggupan orangtua mengajari anak, proses evaluasi dan
penilaian keberhasilan belajar anak, tingkatan pendidikan anak dari waktu ke waktu,
ijasah, dan pada akhirnya berkaitan dengan lapangan pekerjaan yang kelak
ditekuni anak. Pertanyaan-pertanyaan itu bermuara pada hasil akhir: apakah
pendidikan rumah sanggup menghasilkan individu dengan kompetensi spesifik,
mampu berelasi dengan banyak orang, bisa menghadapi persaingan di dunia kerja
nantinya, dan menguasai beragam ketrampilan hidup layaknya anak-anak hasil
pendidikan sekolah yang sangat terstruktur seperti yang biasa kita kenal.
Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan
homeschooling, dan perbedaan apa saja yang mendasar antara homeschooling
dengan sekolah yang selama ini kita kenal, yakni jenjang Sekolah Dasar (6
tahun), Sekolah Menengah Pertama (3 tahun), dan Sekolah Menengah Atas (3
tahun)? Salah seorang praktisi homeschooling, Sumardiono, mengatakan
bahwa sebenarnya tidak ada definisi tunggal dari homeschooling. Namun,
prinsipnya adalah bahwa pada sistem pendidikan homeschooling, sebuah
keluarga bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dengan
menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Di sini, orang tua bertanggung
jawab secara aktif atas proses pendidikan anaknya. Bertanggung jawab secara
aktif ini maksudnya adalah orangtua terlibat penuh pada proses penyelenggaraan pendidikan,
mulai dalam hal penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai (values) yang ingin
dikembangkan, kecerdasan dan ketrampilan yang hendak diraih, kurikulum dan
materi pembelajaran hingga metode belajar serta praktik belajar keseharian
anak.
Munculnya homeschooling didasari
oleh berbagai hal yang berbeda-beda untuk setiap
keluarga. Namun, kekhawatiran orangtua akan pendidikan sekolah
pada masa ini (yang tidak jelas arahnya, pergaulan anak yang penuh tekanan,
biaya pendidikan yang mahal, tuntutan perilaku yang seragam, jumlah jam yang
terlalu banyak dan penuh) disinyalir menjadi penyebab utama sejumlah orangtua
menerapkan pendidikan model homeschooling ini. Di samping itu, karakteristik
anak yang berbeda-beda, yang pada akhirnya beberapa dari mereka mengalami perasaan
tertekan ketika bergaul dengan teman di sekolahnya, juga diperhatikan orangtua praktisi
sekolah rumah. Ada cukup banyak anak yang pintar melebihi teman-temannya akhirnya
malah dikucilkan oleh teman-temannya, namun ketika diberikan pendidikan rumah, anak-anak
ini menjadi kian berkembang aspek intelektual, emosional, dan sosialnya. Dengan
pendidikan sekolah rumah, mereka merasakan bebas menjadi dirinya sendiri
sehingga keingintahuan dan minat belajarnya menjadi kian luas. Pertimbangan
lain dilakukannya pendidikan rumah adalah keinginan orangtua untuk membekali
anak dengan nilai-nilai tertentu (agama, spiritualitas, dll) yang mungkin luput
dari perhatian kurikulum dan penyelenggara sekolah umum.
Pada perkembangannya, ada beragam model homeschooling
yang dapat kita temui. Seto Mulyadi, salah satu praktisi homeschooling mengemukakan
bahwa ada 3 model homeschooling, yakni homeschooling tunggal, homeschooling
majemuk, dan komunitas homeschooling. Pada homeschooling tunggal,
keluarga menerapkan homeschooling secara mandiri, sesuai dengan yang
diinginkan tanpa bergabung dengan keluarga homeschooling lainnya. Pada homeschooling
majemuk, beberapa keluarga bergabung melakukan kegiatankegiatan tertentu,
namun kegiatan pokok tetap menjadi tanggung jawab keluarga masingmasing. Dalam
hal ini antar keluarga memiliki kesamaan kebutuhan yang bisa dikompromikan. Komunitas
homeschooling adalah gabungan beberapa homeschooling majemuk yang
menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, sarana dan
prasarana serta jadwal pembelajaran. Pemilihan model homeschooling yang
akan diterapkan bergantung pada kebutuhan masing-masing keluarga, tujuan, dan
ketersediaan berbagai dukungan, sarana dan kurikulum.
Perbedaan yang paling mendasar antara
anak-anak homeschooling dengan anak-anak
sekolah pada umumnya tentu saja berkaitan dengan berangkat ke
sekolah. Anak-anak homeschooling tidak perlu berangkat ke sekolah 6 hari
perminggu, mereka juga tidak mengenal beragam liburan berkaitan dengan kalender
pendidikan, mereka tidak mengenakan seragam, dan mereka hanya menjalani ujian
jika memang model homeschooling yang mereka tempuh bekerjasama dengan
sekolah. Jika tidak, anak-anak homeschooling tidak akan menempuh ujian layaknya
anak-anak sekolah. Jumlah jam belajar mereka sehari berbeda dari anak-anak
sekolah umum, dan materi yang diajarkan dapat saja berbeda dengan yang
diajarkan di sekolah umum.
Berkaitan dengan materi, sejak awal homeschooling
dirancang untuk memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya, sehingga materi
yang diajarkan disesuaikan dengan minat dan kebutuhan belajar anak pada saat
itu.
Pertanyaan yang kerap diajukan adalah:
Apakah benar, seluruh aktivitas homeschooling dilakukan di rumah? Karena
anggapan sebagian besar masyarakat mengenai sekolah rumah adalah bersekolah di
rumah. Ternyata tidaklah demikian. Homeschooling memang memusatkan
pendidikannya di rumah, berbasiskan pada nilai-nilai keluarga, namun proses
belajarnya tidak hanya berlokasi di rumah. Berbeda dengan sekolah pada umumnya,
homeschooler dapat mengambil lokasi di mana saja, dan menggunakan
berbagai sarana fasilitas yang ada di lingkungan sekitar untuk mendukung proses
belajar yang dilakukan terhadap anakanak. Ini semua disesuaikan dengan
karakteristik anak, karakteristik keluarga, dan proses pendidikan yang
dirancang orangtua untuk anak-anaknya.
Berkaitan dengan perbedaan antara sistem
pendidikan sekolah umum dengan homeschooling yang tampak pada jam
belajar anak, kegiatan belajar anak, salah satu isu yang
kerap dibahas adalah mengenai sosialisasi anak. Bagaimana anak
bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, dengan orang lain di luar keluarga
intinya, kalau sistem pendidikan yang ia tempuh dan proses pendidikan yang ia
jalani berpusat di rumah, dan hanya diikuti ayah, ibu, beserta saudara-saudara
kandungnya?
Beragam pendapat negatif berkaitan
dengan sosialisasi anak-anak homeschooling kerapkali dipaparkan di media
massa. Pendapat yang umum diutarakan adalah bahwa dengan homeschooling,
anak-anak kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya,
dengan orang lain selain keluarganya. Dikhawatirkan pula bahwa anak kehilangan
kesempatan bergaul dengan lingkungan yang sangat heterogen, di
mana dalam lingkungan tersebut ia akan mempelajari banyak hal (perbedaan
status, perbedaan kebiasaaan, perbedaan latar belakang, saling berbagi, saling
menolong, perbandingan sosial, dll). Di samping itu, pergaulan dengan
teman-teman dalam intensitas tinggi sedianya akan menjadi sumber dukungan
psikis dan emosional bagi anak, selain dukungan yang ia peroleh dari
keluarganya. Secara umum anak menjadi kurang pengalaman sosialnya, dan
dikhawatirkan menjadi berkurang kepekaan sosialnya, kompetensi sosialnya, dan
menjadi orang yang kurang bermasyarakat ketika ia dewasa nanti. Munculnya
pendapat ini berdasarkan definisi umum mengenai homeschooling sebagai sekolah
yang berbasiskan rumah. Dalam kacamata ini, sosialisasi disangsikan dapat
terjadi kalau anak secara terus menerus berada di rumah dan mengadakan sedikit
sekali kontak dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, mereka memiliki
kedekatan yang luar biasa dengan kedua orangtua, dan keluarga intinya. Hal yang
berbeda dialami oleh anak-anak sekolah umum.
Pada anak sekolahan, mereka menghabiskan
waktu 6-8 jam di sekolah. Dalam 6-8 jam, dengan sistem klasikal mereka belajar
dalam kelompok, bergaul dengan banyak teman (dengan beragam karakteristik),
mengenai figur otoritas guru, dan bergaul dengan lingkungan fisik sekolah.
Interaksi dengan teman-teman sekolah mengajarkan mereka nilai-nilai
persahabatan, kerjasama, kompetisi, komunikasi, leadership, dan berbagai
skill lain yang akan meningkatkan kemampuan sosial mereka di masa yang
akan datang.
Makalah ini secara singkat akan membahas
mengenai perkembangan sosial anak peserta homeschooling. Untuk
menspesifikkan pembahasan dipilih salah satu rentang usia, yakni usia anak
akhir (6-12 tahun) atau dikenal dengan usia sekolah dasar. Pembahasan akan melibatkan
data interaksi sosial anak homeschooling dengan teman-teman di
sekitarnya (yang
bukan homeschooling) juga interaksinya dengan orang lain,
berupa catatan harian. Dari data tersebut, dengan menggunakan kerangka
konseptual mengenai perkembangan sosial anak dapat dilakukan pembahasan
mengenai perkembangan sosial yang khas pada anak-anak homeschooling.
Pembahasan akan berkaitan dengan poin-poin sebagai berikut: (1) bagaimana perkembangan
sosial anak HS sesungguhnya, (2) bagaimana perkembangan sosial anak HS dibandingkan
dengan teori/konsep (3) apakah sudah memenuhi karakteristik dan tugas perkembangannya?
Sudah optimalkah?, (4) Kalau perkembangan sosial anak homeschooling dapat
dikatakan belum optimal, bagian mana saja yang belum optimal, dan apa saja
faktor yang menyebabkannya, serta (5) Bagaimana upaya yang dapat dilakukan
untuk mengoptimalkan perkembangan sosial anak homeschooling. Hal yang
penting ditekankan di sini adalah bahwa makalah ini tidak meletakkan perkembangan
sosial anak-anak homeschooling sebagai fenomena yang abnormal, atau bermasalah,
atau menghambat optimalisasi tumbuh kembang anak.
2. Tinjauan
Teori dan Konsep
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai
karakteristik perkembangan anak usia akhir
secara umum, dilanjutkan dengan ciri perkembangan anak usia akhir
pada berbagai aspek yakni kognisi, motorik, emosi, dan tentu saja perkembangan
kognisi sosialnya. Terpenuhinya perkembangan setiap aspek ini pada diri anak
(mencapai perkembangan optimal) akan membuat anak bisa memenuhi tugas-tugas
perkembangan sesuai dengan usianya, dan ia akan terlihat sama dengan anak-anak
usia akhir lainnya. Bagian ini juga mengetengahkan penjelasan mengenai
Montessori School yang akan memudahkan pembahasan mengenai anak-anak Homeschooling,
dikarenakan konsep ini merupakan salah satu konsep yang mendasari berjalannya
pendidikan homeschooling untuk anak usia sekolah.
(1) Perkembangan pada Masa Akhir Anak-Anak
Periode ini dimulai ketika anak mulai
memasuki Sekolah Dasar dan berakhir ketika anak mengalami kematangan seksual.
Periode ini juga disebut sebagai periode anak usia Sekolah Dasar, karena pada
masa ini anak mulai memasuki sekolah formal.
Karakteristik perkembangan pada masa akhir anak-anak
Menurut Hurlock sebagai berikut :
1. Masa berkelompok dimana perhatian utama anak-anak tertuju pada
keinginan diterima kelompoknya
2. Proses penyesuaian diri dengan standar yang disetujui
kelompoknya
3. Usia kreatif, menunjukkan bahwa anak ketika tidak dihalangi
oleh rintangan-rintangan lingkungan, kritik, cemoohan dari orang dewasa maka
anak akan mengerahkan tenaganya dalam kegiatan-kegiatan yang kreatif
4. Usia bermain karena luasnya minat anak
Sedangkan karakteristik perkembangan
pada masa pertengahan dan masa akhir anak-anak menurut Santrock sebagai
berikut :
1. Perubahan fisik (tubuh) pada anak. Diantara aspek-aspek penting
perubahan tubuh di dalam periode perkembangan adalah sistem rangka, sistem
otot, dan ketrampilan motorik
2. Kemampuan menganalisis kata, misalnya anak ketika mendengar
kata “anjing”, anak dapat mengaitkan kata ‘anjing” dengan suatu kata yang
menunjukkan penampilannya (hitam, besar)
3. Memiliki kreativitas
4. Menjalin relasi dengan teman sebayanya
(2) Perkembangan kognisi anak usia akhir menurut Piaget:
Berada pada tahap konkrit operasional
dengan ciri berpikir dengan lebih terorganisasi,
memikirkan alasan logis tentang informasi yang konkrit, menguasai
konservasi Piaget, pembagian kelas, masalah-masalah bersambung termasuk
pengambilan kesimpulan. Memperlihatkan spatial reasoning dengan lebih
efektif seperti diperlihatkan pada penguasaan
konservasi, kemampuan memberikan arahan yang jelas, peta kognitif
yang lebih terorganisasi
dengan baik.
Perkembangan pemrosesan informasi pada anak usia akhir:
- kapasitas dasar: Kapasitas keseluruhan akan sistem kognitif
semakin meningkat
- strategi: Perhatian menjadi lebih selektif, adaptif, dan
terencana. Tantangan dalam segi kognitif semakin meningkat. Strategi memori
dalam bentuk latihan dan organisasi semantik digunakan secara spontan dan lebih
efektif. Kemampuan untuk menggabungkan berbagai macam strategi semakin
meningkat. Kemampuan untuk mengambil kesimpulan dalam proses penataan ulang
semakin berkembang.Penalaran lebih bergantung kepada kata kunci yang tersimpan
dalam memori.
- pengetahuan: Pengetahuan semakin berkembang dan tertata dengan
lebih baik.
- Metakognisi: Melihat pikiran sebagai sesuatu yang aktif, dan
merupakan hal yang penting dalam perkembangan. Pengetahuan akan berbagai macam
proses kognitif dan hubungannya semakin berkembang. Pengetahuan akan dampak
dari strategi dan variabel tugas dari suatu tingkah laku semakin meningkat.
Pengetahuan akan hubungan antara proses kognitif, strategi, dan variabel tugas
semakin meningkat. Regulasi kognitif diri semakin meningkat secara bertahap.
Perkembangan motorik anak usia
akhir:
Kecepatan berlari meningkat menjadi 18 feet per second
Dapat skipping dengan mengalir
Jarak melompat kedepan menjadi 4-12 inches dan loncat jauh dari 3
sampai 5 kaki ; lompatan lebih akurat.
Akurasi, jarak, dan kecepatan menendang meningkat
Melibatkan seluruh tubuh dalam memukul bola; kecepatan dan akurasi
meningkat
Mendrible bola menjadi berubah dari kaku menjadi berkelanjutan dan
santai.
Perkembangan emosi:
- ekspresi emosi: Kesadaran emosi diri menjadi lebih terintegrasi
dengan nilai-nilai standar yang ada di dalam diri yang berkaitan dengan tingkah
laku yang baik dan kesempurnaan. Strategi yang berkaitan dengan regulasi emosi
diri menjadi lebih bersifat internal dan menyesuaikan dengan tuntutan dari
situasi lingkungan. Kemampuan untuk menyesuaikan menjadi lebih berkembang,
lebih memahami akan aturan-aturan dalam menunjukkan emosi
- pemahaman emosi: Kemampuan untuk mempertimbangkan perasaan orang
lain ketika terjadi konflik mulai muncul. Mulai munculnya pemahaman bahwa
manusia bisa memiliki perasaan yang saling bercampur dan ekspresi yang
ditampilkan seseorang mungkin bukan refleksi dari apa yang sesungguhnya
dirasakan. Empati meningkat sejalan dengan meningkatnya pemahaman emosional.
Perkembangan kognitif sosial anak akhir
(1) Pemikiran tentang diri sendiri:
Konsep diri menekankan pada trait
kepribadian. Self-esteem diorganisasikan secara hierarkis, setidaknya
muncul ke dalam tiga dimensi (akademis, fisik, sosial), yang berbeda tergantung
kepada evaluasi diri dan saling bergabung membentuk impresi akan dirinya. Self-esteem
akan menurun ketika anak membandingkan dirinya dengan anak lain, kemudian
kembali meningkat. Sifat yang berkaitan dengan prestasi berbeda tergantung
kepada kemampuan, usaha, dan faktor di luar diri anak.
(2) Pemikiran tentang orang lain:
Deteksi akan usaha untuk mencapai tujuan
mulai meningkat. Persepsi akan manusia lebih menekankan pada trait kepribadian
dan perbandingan sosial. Anak mendapatkan pengetahuan mengenai rasis, etnis,
kelas sosial, prasangka menurun. Perspective taking meningkat, anak memahami
bahwa manusia dapat mengartikan kejadian yang sama dalam cara yang berbeda.
(3) Pemikiran tentang relasi antar manusia:
Pertemanan menekankan pada rasa percaya
dan saling membantu yang dilakukan bersamasama. Kuantitas dan kualitas dari
strategi pemecahan masalah sosial berkembang. Komponen dari pemecahan masalah-masalah
sosial lebih berkaitan dengan kompetensi sosial. Perspective taking: kemampuan
membayangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Pada anak usia 7-12
tahun: Anak mulai bisa menempatkan diri di posisi orang lain, dan melihat pandangan,
perasaan, dan tingkah laku mereka berdasarkan sudut pandang orang lain. Mereka juga
mengenali bahwa orang lain juga bisa melakukan hal yang sama.
Menurut Santrock, 1998, anak usia akhir
sesungguhnya dikelilingi oleh 3 lingkungan yang berbeda, yakni keluarganya,
teman sebayanya dan lingkungan sekolah. Ketiga lingkungan ini membawa dampak
yang berbeda-beda terhadap tumbuh kembang anak.
v lingkungan keluarga: pada usia akhir, waktu anak-anak bersama
keluarganya cenderung berkurang karena anak lebih banyak di sekolah dan atau
bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, meskipun demikian, dalam hal
penanaman norma sosial, kontrol, dan disiplin, orangtua masih memiliki peranan
penting bagi anak. Kontrol yang diberikan orangtua terhadap anak lebih
berkaitan dengan memonitor perkembangan anak, mengarahkan dan memberi
support/dukungan, pemanfaatan waktu secara efektif ketika mereka langsung berhubungan
dengan anak-anaknya, dan orangtua berusaha menanamkan kepada anak kemampuan
untuk mengontrol perilaku mereka sendiri, untuk menghindari resiko cedera, untuk
memahami perilaku yang diharapkan, dan merasakan dukungan dari orangtuanya.
v teman sebaya: pada anak usia akhir, mereka memang lebih banyak
menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Teman bagi anak usia akhir memiliki
6 fungsi yakni: persahabatan, stimulasi/mendorong, physical support, ego
support, untuk perbandingan sosial, keintiman/relasi afeksi. Adanya
kesamaan dan perasaan dekat/intim merupakan dua hal penting dalam sebuah relasi
pertemanan dengan teman sebaya.
v lingkungan sekolah: lingkungan ini memberikan dampak yang cukup
besar bagi siswa karena anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di
sekolah. Guru memiliki peran penting mempengaruhi perkembangan anak. Selain itu
di sekolah anak mempelajari perbedaanperbedaan antara dirinya dengan
teman-temannya yang sangat beragam. Perbedaan ini bermacam-macam berkaitan
dengan fisik, karakter, latar belakang sosial ekonomi, dan juga suku.
Dalam relasinya bersama orang lain
terutama teman sebayanya, anak mempelajari ketrampilan sosial. Unesco
menetapkan beberapa ketrampilan sosial yang harus dikuasai anak karena akan
mendukung keberhasilannya:
Interpersonal communication skills
* Verbal/Nonverbal communication
* Active listening
* Expressing feelings; giving feedback (without blaming) and
receiving feedback
Negotiation/refusal skills
* Negotiation and conflict management
* Assertiveness skills
* Refusal skills
Empathy
* Ability to listen and understand another's needs and
circumstances and express that understanding
Cooperation and Teamwork
* Expressing respect for others' contributions and different
styles
* Assessing one's own abilities and contributing to the group
Advocacy Skills
* Influencing skills & persuasion
* Networking and motivation skills
(3) Tugas perkembangan pada masa akhir anak-anak
Menurut Havinghurst :
1. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk
permainan-permainan yang umum
2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
makhluk yang sedang tumbuh
3. Mulai mengembangkan peran sosial yang tepat antara pria dan
wanita
4. Menggembangkan ketrampilan dasar untuk membaca, menulis , dan
berhitung
5. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk
kehidupan sehari-hari
6. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral dan tingkatan nilai
7. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan
lembaga-lembaga
8. Mencapai kebebasan pribadi
Sedangkan tugas-tugas perkembangan masa
pertengahan dan masa akhir anak-anak menurut Santrock diantaranya sebagai
berikut :
1. Membaca
2. Berinteraksi dengan teman sebayanya
3. Anak-anak yang memiliki prestasi
4.Peralihan peran untuk menjalani peran baru, misalnya perubahan
“anak rumah” (homechild) menjadi “anak sekolah” (schoolchild)
5. Pemahaman diri berubah secara pesat dari mendefinisikan diri
melalui karakteristik eksternal menjadi mendefinisikan melalui karakteristik
internal. Misalnya seorang anak mengatakan dirinya cukup lumayan tidak kuatir
terus menerus, suka marah, tetapi sudah lebih baik sekarang.
Montessori homeschooling
Ø dalam pandangan Montessori mengenai pendidikan rumah dan
sosialisasi, beliau menegaskan bahwa sosialisasi tidak berarti berelasi secara
terus menerus dengan orang lain yang memiliki usia yang sama. Yang perlu
diingat adalah bahwa dalam lingkungan yang sebenarnya anak akan berinteraksi
dengan ragam orang dan ragam usia. Dalam kehidupan, kita tidak berkompetisi
melainkan berupaya memuaskan kebutuhan kita, dan memahami kebutuhan orang lain
dapat membantu kita memahami orang lain dan menolong orang lain dalam
kehidupannya. Maka, dalam rencana pendidikan rumah yang ditekankan Montessori
adalah perlunya mengajarkan berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai
usia, bagaimana upaya kita untuk membiasakan anak menjadi penolong bagi orang
lainnya, serta dapat belajar dari siapa saja yang ditemuinya dalam kehidupan.
Ø Menurut Montessori, pendidikan yang layak untuk anak usia sekolah
adalah sebagai berikut:
(1) anak
belajar sepanjang waktu, dari lingkungan sekitarnya dan dari orang dewasa di sekitarnya.
Sangat baik bila kita mampu memperkaya lingkungan dan menjadi role model
yang baik baik anak ketimbang sekedar mengajarinya
(2) anak
harus belajar sesuai dengan minatnya. Ia belajar mengenai banyak hal yang disukainya.
Pemaksaan akan sesuatu membuat hal tersebut mudah untuk dilupakannya.
(3) Anak
harus mengetahui dan memahami mengapa ia harus mempelajari suatu subjek yang
diminta oleh orang lain/orangtuanya
(4) Tetapkan terlebih dahulu standar
yang ingin dicapai dalam 1tahun pendidikan, dan
pembagiannya
ke dalam tujuan jangka pendek dan pertemuan-pertemuan. Ini akan membangkitkan
rasa tanggung jawab anak dalam tiap pertemuan, anak belajar secara terjadwal
(disiplin dan mandiri) dan biasanya proses belajarnya hanya 2-3 jam dalam
sehari.
(5) Ikuti anak.
Mengesampingkan apa yang harus dipelajari anak, jika ia sangat tertarik pada
suatu hal yang sedang ingin ia pelajari, ini akan memberikan hasil yang menakjubkan
bagi orangtua.
BAB II
PEMBAHASAN
Data-data yang dikemukakan di atas menyoroti
bagaimana interaksi sosial anak-anak homeschooling dengan
teman-temannya, dan dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Apakah terdapat
sesuatu yang berbeda jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya yang menempuh
pendidikan sekolah umum? Perbedaan yang langsung terlihat adalah kesempatan
bergaul dengan banyak anak dalam waktu yang relatif panjang, dan dalam berbagai
suasana/kesempatan.
Dalam seting yang sama, yakni permainan,
yang berlangsung setiap harinya, cenderung proses pembelajaran anak mengenai
dunia teman sebaya hanya berkaitan dengan hal yang sama, misalnya kerjasama dan
persaingan saja. Anak kurang mengenali keragaman pembelajaran lingkungan
sosial, karena konteks yang dihadapinya hanya berkaitan dengan permainan bersama
teman sebaya saja. Hal yang sama mengenai sempitnya keragaman seting interaksi
juga terjadi kalau anak homeschooling cenderung hanya menghabiskan waktu
luangnya di tempat kursus secara terus menerus. Terlebih bila anak hanya
menekuni satu macam kursus saja. Ia hanya akan mengenali satu macam seting
saja, dan tidak merasakan keragaman seting dengan orang yang berbeda karakteristik
yang akan memberikan pengalaman sosial yang berbeda. Anak juga tidak merasakan
pengalamannya bersama teman-teman yang sama dalam seting tempat dan suasana yang
benar-benar berbeda. Di mana dalam perbedaan seting tersebut, masing-masing
anak akan memberikan respon yang berbeda, dan respon-respon berbeda inilah yang
akan memperkaya anak mengenai dirinya sendiri, dan temannya, serta interaksi di
antara mereka.
Berbeda dengan yang terjadi pada
anak-anak sekolah pada umumnya, bahwa dalam satu waktu yang panjang, anak
mengenal teman-temannya dalam jumlah yang cukup besar (sekelas 30 orang dan
satu sekolah memiliki 200-300 siswa), dengan karakteristik yang sangat beragam,
dan mengenali respon-respon temannya dalam berbagai seting, misalnya permainan pada
jam bermain, bekerja kelompok dengan teman yang berbeda pada mata pelajaran
berbeda, berolahraga, kegiatan kesenian, yang kemudian keragaman ini mengajarkan
anak untuk dapat meningkatkan kemampuannya berinteraksi dengan banyak orang
yang berbeda. Ia juga mengasah kemampuannya mengenai pikiran dan perasaan
temannya dalam keragaman seting, yang kemudian akan mengasah empati sang anak.
Anak juga akan mengenali teman-temannya yang berbakat, yang nakal, yang
disenangi oleh teman, yang dimusuhi teman, yang disayang guru beserta dengan
alasan-alasan mereka mendapatkan predikat sayang/tidak disayang tersebut. Anak
akan mempelajari perilaku yang diinginkan oleh lingkungan dan ia belajar bagaimana
mengembangkan perilakunya. Dalam berbagai interaksi dengan anak-anak yang berbeda,
anak akan bertemu dengan perselisihan, perbedaan pendapat, yang kemudian menuntut
mereka belajar memecahkan permasalahan sosialnya secara mandiri tanpa bantuan orang
dewasa.
Dengan berbagai seting interaksi, anak juga
belajar berlaku asertif, yakni mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara
jujur kepada orang lain secara tepat. Ia berlaku empatik terhadap temannya,
belajar mendengarkan kemauan dan kebutuhan temantemannya dalam situasi yang
berbeda-beda. Ia juga dapat belajar hal-hal yang menyenangkan dan yang tidak
menyenangkan yang terjadi pada anak dalam interaksinya dengan temantemannya dalam
beragam situasi, yang akan mengajarkannya mengenai nilai-nilai persahabatan dan
fungsi teman, selain keberadaan keluarganya sebagai sumber dukungan utama. Pada
akhirnya dari sekian banyak anak yang dikenalinya, dalam berbagai macam interaksinya
dengan beragam anak, anak akan memilih teman-teman yang dirasakanya cocok dengan
dirinya, yang membuatnya merasa nyaman, yang dirasakannya menyayanginya, yang bisa
disayanginya, yang menjadi sumber dukungannya. Pada masa inilah, pertemanan
menjadi hal yang positif untuk perkembangan kepribadian anak.
Melihat frekuensi dan intensitas
pergaulan anak homeschooling hanyalah salah satu tindakan yang dapat
kita lakukan untuk merumuskan perkembangan sosial khas anak homeschooling.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah membandingkan perkembangan sosial anak homeschooling
dengan konsep psikologi perkembangan. Pertanyaan yang layak diajukan adalah
sudahkah anak-anak homeschooling memenuhi tugas perkembangan sesuai
dengan usianya? Arti kata terpenuhikah aspek perkembangan sosial pada anak-anak
homeschooling ini? Anak-anak usia akhir biasanya mampu berelasi dengan
teman sebayanya dan mengembangkan seting kelompok, membuat standar untuk
kelompoknya, belajar mengenai nilai pertemanan, saling berbagi dan membantu,
saling memberikan support, mengenali temantemannya, dapat memahami perasaan dan
pikiran temannya yang berbeda dengan dirinya, memiliki aktivitas bersama, serta
menjadikan temannya sebagai pembanding. Melalui temannya, anak memperoleh dan
saling bertukar informasi mengenai nilai-nilai, peran, harapan dan tuntutan
lingkungan. Pertanyaan yang kemudian diajukan adalah bagaimana anak memenuhi
karakteristik dan tugas perkembangan ini kalau kesempatan yang ia miliki tidak sebanyak
yang dimiliki oleh anak-anak lainnya? Dalam hal ini, kita berhipotesis bahwa kesempatan
anak-anak homeschooling berinteraksi dengan teman sebayanya lebih terbatas dibandingkan
kesempatan anak-anak sekolah pada umumnya.
Pada anak-anak tertentu, yang lebih
nyaman berelasi dengan satu dua orang, anak akan mengalami kesulitan bergaul
dan memenuhi tuntutan lingkungan yang sangat beragam. Inilah yang kemudian
dapat menyebabkan anak merasa tidak nyaman dan meminta kembali pendidikan
rumahnya. Pada data anak homeschooling di atas, tampak anak sangat
dibantu oleh orang dewasa di sekitarnya dalam menghadapi berbagai situasi yang
berbeda. Hal ini akan menghasilkan hal yang positif karena anak dengan cepat
dan mudah mempelajari hal yang ingin ia ketahui atau yang perlu diketahuinya
(karena orangtua yang memilihkan/mengarahkan anak). Namun, yang perlu
diperhatikan adalah fleksibilitas dan kemandirian anak dalam mengamati, dan
kemudian menarik kesimpulan sendiri mengenai situasi-situasi yang dihadapinya,
tanpa adanya orang dewasa. Di sekolah, anak menghadapi beragam teman, dengan
beragam perilaku, tanpa selalu diawasi oleh orang dewasa. Ada kekhawatiran
memang mengenai keselamatan jiwa anak, namun, dengan pendekatan ini anak
belajar secara mandiri menghadapi lingkungan sosial teman sebayanya, dan
kemudian menyusun strategi bagi dirinya untuk mengembangkan perilaku yang
membuat ia dapat dengan mudah diterima dan bergaul dengan teman sebayanya.
Keragaman lingkungan sekolah juga akan
memperkaya anak mengenai cara berelasi dengan orang yang berbeda. Dari waktu ke
waktu relasinya dengan banyak orang akan membantunya memiliki ketrampilan
sosial yang memadai. Situasi yang tidak beragam, kiranya dapat membuat beberapa
kompetensi sosial seperti bekerja dalam tim, saling memberikan motivasi,
kesediaan menerima umpan balik, kesediaan mendengarkan kebutuhan orang lain
kurang dapat diasah pada anak-anak homeschooling.
Bimbingan orang dewasa, yang dalam hal
ini adalah orangtua yang memang menginginkan hal yang terbaik untuk dipelajari
oleh anaknya, tentu saja berbeda dengan situasi nyata ketika anak harus
berinteraksi dengan teman sebayanya dalam berbagai seting, misalnya bermain,
bekerja kelompok, berkompetisi olahraga, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
makalah ini menyoroti kekurangragaman relasi yang dijalin anak-anak
homeschooling. Kurangnya keragaman relasi anak homeschooling ini dapat
menyebabkan hanya aspek tertentu saja dari perkembangan sosial yang terasah.
Akibatnya mereka kurang kaya mengenal karakteristik bermacam orang yang dapat kita temui, dan
kompetensi sosial yang terasah juga menjadi terbatas, dibandingkan dengan
anak-anak yang mengenal dan terlibat dengan lebih banyak orang dalam beragam
seting sosial. Untuk itu, upaya yang dapat dikembangkan pada anak-anak ini
adalah mengenalkan mereka pada lingkungan yang beragam, dan mengenalkan dengan beragam
orang. Pengenalan terhadap teman-teman dengan lingkungan yang beragam harus disertai
dengan mengajak mereka melakukan aktivitas yang berbeda-beda dibandingkan aktivitas
rutin mereka. Dari sini, anak mengenali reaksi-reaksi teman-temannya pada
situasi yang berbeda-beda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilihat dari perkembangan sosial anak-anak homeschooling,
tampak beberapa hal seperti komunikasi, bermain, berempati sudah cukup
berkembang. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah berkaitan dengan kesempatan
yang luas untuk mengenali beragam orang dalam beragam situasi yang berbeda,
atau mengenali orang dalam situasi yang berbeda-beda. Pengenalan ini dirasakan
perlu sebagai proses memahami orang lain, proses mempelajari nilainilai orang
per orang, menemukan pemecahan dari perbedaan pendapat yang terjadi, serta terciptanya
relasi yang dekat dengan teman sehingga teman dapat menjadi sumber dukungan sosial
bagi anak.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
perkembangan sosial anak homeschooling yang diamati oleh lingkungan awam
adalah pendekatan yang kita pergunakan untuk menjelaskan apakah anak-anak ini
dinyatakan berhasil memenuhi tugas perkembangannya, atau memang pada
kenyataannya untuk pertemanan dengan teman sebaya mereka tidak sebaik
teman-temannya yang bersekolah di sekolah umum. Untuk menjelaskan ini, sebagai
individu yang tidak menekuni homeschooling, kita semua harus dengan
teliti mengamati interaksi anak-anak homeschooling dengan teman
sebayanya dan dengan orang lain untuk mendapatkan data akurat mengenai tahapan
perkembangan sosial mereka. Catatan akurat mengenai interaksi anak-anak homeschooling,
secara individual, akan memberikan penjelasan akurat mengenai baik buruknya
perkembangan sosial pada anak yang bersangkutan. Pencatatan akurat dapat
diperoleh dengan teknik observasi partisipan, yakni mengobservasi kegiatan
keseharian anak homeschooling dengan memfokuskan kepada perkembangan sosial yang
perlu dikuasainya.
Dengan membandingkan data beberapa anak homeschooling diharapkan
dapat diperoleh gambaran perkembangan sosial anak homeschooling secara umum, dengan
berbagai kekhasan permasalahannya.
B.Saran
Saran aplikatif untuk pengembangan relasi sosial anak-anak homeschooling
adalah mengenalkan mereka ke berbagai lingkungan sosial. Berikut adalah
beragam lingkungan yang dapat memperkaya interaksi sosial anak-anak homeschooling
(dikutip dari E-magazine homeschooling):
a. Komunitas homeschooling
Anak-anak homeschooling
dapat bertemu dan berinteraksi dengan teman-temannya sesama homeschooling
melalui media komunitas homeschooling. Melalui komunitas, anak-anak
dapat membentuk ikatan persahabatan dan merencanakan kegiatan-kegiatan yang
sama-sama mereka senangi.
b. Organisasi spiritual
Salah satu
sarana sosialisasi yang paling mudah dimanfaatkan oleh anak-anak homeschooling
adalah lingkungan remaja masjid, gereja, kelompok meditasi, dan kelompok
spiritual lainnya. Aktivitas bakti masyarakat dan pelayanan sosial
melalui institusi keagamaan ini dapat menjadi sarana untuk mengembangkan
kemampuan sosialisasi dan empati sosial anak-anak.
c. Organisasi sosial
Anak-anak homeschooling juga
dapat mengembangkan pertemanannya melalui organisasi
sosial
seperti Karang Taruna, Palang Merah Remaja, Panti Asuhan atau lembaga-lembaga
sosial lainnya.
d. Tempat kursus
Dalam
pengembangan dirinya, anak-anak homeschooling seringkali memanfaatkan
sarana kursus atau seminar-seminar mengenai topik yang dibutuhkan dan
diminatinya. Tempat kursus bahasa Inggris, misalnya, adalah sarana yang dapat
dimanfaatkan untuk membangun pertemanan sebaya.
e. Klub olahraga
Untuk
anak-anak yang senang melakukan aktivitas outdoor dan olah raga, klub-klub olah
raga adalah sarana pergaulan yang sehat. Kelompok mendaki gunung, bela diri,
berenang, dansebagainya adalah tempat bermain yang bisa dimanfaatkan.
f. Klub hobi
Jika
anak-anak menyukai seni, klub hobi dan seni seperti fotografi, komik, teater, dan
sebagainya , dapat menjadi ajang aktualisasi diri dan menjalin pergaulan.
g. Forum di Internet
Tak lupa,
pergaulan dapat dibangun melalui media virtual Internet. Aktivitas blogging, mengikuti
sebuah forum minat tertentu, milis, atau social networking memiliki potensi pergaulan
yang luas. Bahkan, Internet memberikan peluang pertemanan yang melintasi batas kota
dan negara.
Daftar Pustaka
Santrock. Life Span Development. 1998. Brown and Brenchmark.
Homeschooling, Rumah Kelasku Dunia
Sekolahku. Kumpulan Artikel. 2007. Penerbit Buku
Kompas.
Sumardiono. Homeschooling A Leap for Better Learning. 2007.
Elex Media Komputindo.
www.sumardiono.com. Diakses Sabtu, 12 Januari 2008, dan 13 Januari
2008.
www.sekolahrumah.com. Diakses Sabtu, 12 Januari 2008 dan 13
Januari 2008.
Komunitas Homeschooling Indonesia. http://homeschooling.cipta-teknologi.info.
Diakses 12
Januari 2008 jam 20.05 Wib.
Komunitas Homeschooling Indonesia. http://homeschooling.cipta-teknologi.info.
Diakses 12
Mei 2009 jam 09.00 Wib.
E-magazine homeschooling. Komunitas homeschooling Indonesia.
Diakses 12 Februari 2008
jam 22.00 WIB.
Mulyadi, Seto. 2007. Homeschooling Keluarga Kak Seto.
Penerbit Kaifa Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar