TUGAS
TERSTRUKTUR
MATA KULIAH BELAJAR DAN
PEMBELAJARAN
“MENDIDIK ANAK DI TENGAH TANTANGAN ZAMAN
“
DOSEN : Prof. Dr. H. MASHUDI, M.Pd
MAKALAH
Disusun Oleh :
VERAWATI
F01110049
PENDIDIKAN
EKONOMI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2011
KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “MENDIDIK
ANAK DI TENGAH TANTANGAN ZAMAN”.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak
mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak
tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada kita sekalian.
Pontianak, November 2011
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Anak bukanlah orang dewasa dalam
ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap
perkembangannya. Hanya saja, dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu
demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan
masyarakat pada umummnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat
perkembangananya. Di dalam keluarga orang tua sering memaksakan keinginannya
sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan tekanan (preasure) tidak
sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media cetak/elektronika
tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.
Mencermati perkembangan anak dan
perlunya pembelajaran pada anak usia dini, tampaklah bahwa ada dua hal yang
perlu diperhatikan pada pendidikan anak usia dini, yakni: 1) materi pendidikan,
dan 2) metode pendidikan yang dipakai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak
usia dini harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka.
Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas
perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas
perkembangan tertentu.
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional dalam pasal 1 menegaskan bahwa, pendidikan anak usia dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Menyikapi perkembangan anak usia
dini, perlu adanya suatu program pendidikan yang didisain sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Kita perlu kembalikan ruang kelas menjadi arena bermain,
bernyanyi, bergerak bebas, kita jadikan ruang kelas sebagai ajang kreaktif bagi
anak dan menjadikan mereka kerasan dan secara psikologis nyaman.
B.
Rumusan masalah
Bagaimana cara
mendidik anak di tengah tantangan zaman?
Bagaimana
menyikapi anak yang nakal ?
Apa peran orang
tua sebagai orang yang paling dekat dengan seorang anak?
C.
Manfaat dan
tujuan
-
Memberikan informasi tentang cara mendidik anak di tengah
tantangan zaman sekarang ini?
-
Sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan
terhadap anak?
-
Memenuhi tugas terstruktur mata kuliah PENGANTAR ILMU
SOSIAL pada pertengahan semester pertama.
BAB II
PEMBAHASAN
Tokoh pendidikan anak usia dini,
Montessori, mengatakan bahwa ketika mendidik anak-anak, kita hendaknya ingat
bahwa mereka adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai
dengan kemampuan mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa dan pendidik
adalah memberikan sarana dorongan belajar dan memfasilitasinya ketika mereka
telah siap untuk mempelajari sesuatu. Tahun-tahun pertama kehidupan anak
merupakan masa-masa yang sangat baik untuk suatu formasio atau
pembentukan. Masa ini juga masa yang paling penting dalam masa perkembangan
anak, baik secara fisik, mental maupun spritual. Di dalam keluarga dan
pendidikan demokratis orang tua dan pendidik berusaha memfasilitasi pertumbuhan
dan perkembangan yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu, baik dan tepat
bagi setiap orang tua dan pendidik yang terlibat pada proses pembentukan ini,
mengetahui, memahami perkembangan anak usia dini. Tapi sekolah kita belum
memiliki based line data yang holistik yang dapat memberikan berbagai
informasi tentang perkembangan behavior dan kesulitan belajar anak
terhadap berbagai subkompetensi materi sulit. Informasi ini sangat diperlukan
untuk melakukan treatmen secara berjenjang tentang perkembangan anak
sejak usia dini sampai mereka dewasa (SLTA).
1.
Tantangan dari diri orang tua
Ketika anak tidak mau mendengarkan
nasihat orang tua, bertindak semau sendiri dan suka memberontak melawan orang
tua, maka orang tua seperti mendapat tantangan dalam mendidik anak-anaknya.
Tetapi tanpa disadari, jauh sebelum sifat dan perilaku yang ‘tidak baik’ itu
muncul, orang tualah yang kemungkinan salah mendidik atau salah memberikan
teladan kepada mereka. Kalau bicara tantangan, sebenarnya tantangan yang
pertama dan paling utama, berasal dari orang tua sendiri. Tantangan dari diri
orang tua lebih bisa disebut kesalahan-kesalahan orang tua dalam mendidik anak
atau dalam membangun hubungan dengan anak-anaknya. Ada beberapa kesalahan yang
harus dibenahi dari pihak orang tua dalam hal ini:
a.
Gagal Menjadi Pendengar
Menurut psikolog Charles Fay, Ph.D. “Banyak
orang tua cenderung mengabaikan apa yang anak mereka ungkapkan.” Contohnya:
suatu hari anak pulang dengan baju kotor, pipi dan matanya lebam membiru, ada
sedikit darah kering di sela bibirnya yang terluka. Apa reaksi orang tua? Ada
orang tua yang langsung menghakimi anaknya berkelahi dan langsung menghukumnya.
Ada juga yang bereaksi dengan mencecar anaknya dengan pertanyaan yang
bertubi-tubi. Dan tidak banyak yang mendudukkan anaknya, memberi minum dan
membiarkan anaknya tenang, kemudian duduk di hadapannya dan berkata, ceritalah
nak, ibu/ayah siap mendengarkan. Menjadi pendengar yang baik itu berarti mendengarkan dengan
sungguh-sungguh tanpa menginterupsi dan tanpa terganggu oleh keadaan sekitar,
atau memalingkan perhatian ke hal yang lain selama anak bercerita. Dengan
mendengar anak-anak Anda secara aktif berarti menganggap bahwa mereka cukup
istimewa untuk menerima perhatian penuh dari Anda. Berikan tanggapan yang bukan
hanya sekedar basa-basi ketika anak Anda mengungkapkan atau menceritakan apa yang
telah terjadi atau yang mereka rasakan. Biarkan mereka membangun kebiasaan
berkata jujur dan terbuka tanpa rasa takut, sejak mereka kecil. Karena ini akan
sangat berpengaruh ketika mereka menginjak remaja dengan pergaulan dan pengaruh
dunia luar yang kompleks. Bila anak sedang bercerita pada orang tua, jangan memotong cerita anak.
Jangan menghakimi atau mengecam anak, ketika ia mengungkapkan kejujuran yang
ternyata berisi pelanggaran atau kenakalan. Hargailah kejujurannya, kalau
memang harus dihukum, kurangilah hukumannya sebagai reward atas kejujurannya. Keberhasilan orang tua mendengarkan anak akan terlihat
dengan timbal balik anak mendengarkan orang tua. Tetapi bila orang tua tidak mau atau gagal mendengarkan perkataan anak , jangan heran dan marah ketika
mereka tidak lagi mau mendengarkan. Jangan menjadi orang tua yang otoriter,
yang menganggap setiap perkataan harus didengarkan, sementara orang tua sendiri tidak mau mendengarkan.
Mendengarkan itu memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.
Ingat apa yang kita tabur, itu yang kita tuai.
b.
Gagal Untuk Berbagi
Anak-anak membutuhkan perhatian,
diajak berbicara, kebenaran, kepercayaan, sentuhan, ucapan terima kasih, dll.
Itu semua adalah bentuk dari kesediaan sebagai orang tua untuk berbagi kepada anak. Kadang-kadang
cerita-cerita di masa kecil/remaja merupakan cerita yang menarik dan bisa
diteladani bagi anak-anak . Diskusikan hal-hal yang membebani anak atau justru
membebani kita dalam waktu bersama, sehingga terbentuk sebuah keterikatan
saling membutuhkan antara kita dan anak . Kegagalan untuk berbagi ini bisa
disebabkan karena kesibukan orang tua sehingga tidak punya waktu atau kurang
waktu untuk bertemu dengan anak. Apalagi di kota-kota besar yang kebanyakan
kedua orang tua bekerja. Bukan kwantitas waktu yang saya bicarakan di sini,
tetapi kualitas waktu kebersamaan kita dengan anak, itulah yang lebih penting.
Jadikan waktu bersama dengan anak menjadi waktu yang menyenangkan. Nikmati
kebersamaan itu sehingga anak tahu, bahwa ayah ibunya juga senang bersama
dengan mereka. Mendengarkan dan didengarkan adalah
bentuk dari hasrat untuk berbagi. Kita memberi pendapat, dan biarkan anak juga
mengemukakan pendapatnya. Kita memberi nasihat, biarkan pula mengungkapkan
nasihatnya. Luangkan waktu bersama anak minimal 10 menit disela kesibukan kita.
Jadikan waktu libur, adalah waktu untuk keluarga. Jangan berdalih pekerjaan
atau pelayanan lebih penting. Keluarga kita adalah tanggung jawab kita yang
pertama sebelum kita melayani orang lain. Dan pastikan anak tahu saat bersama
orang tua adalah waktu yang tidak dapat diinterupsi. Kegagalan yang lain mungkin
disebabkan oleh ketidakpedulian orang tua akan perkembangan anak mereka. Ayah
menganggap pendidikan anak adalah kewajiban ibu, ibu menganggap ayah tidak
mendukung, sehingga yang terjadi kemudian lebih kepada tidak peduli. Yah,
biarkan saja anak tumbuh dengan sendirinya, toh di sekolah mereka sudah
mendapatkan pendidikan. Menurut Louis Hodgson, ibu 4 anak
dan nenek 6 cucu, “anak sekarang mempunyai banyak benda untuk dikoleksi”.
Tidaklah salah memanjakan anak dengan mainan dan liburan yang mewah. Tetapi
yang seharusnya disadari adalah anak Anda membutuhkan quality time bersama
orang tua mereka. Mereka cenderung ingin didengarkan dibandingkan diberi sesuatu
dan diam. Kenali bagaimana anak Anda bertumbuh dan mengembangkan
pikiran- pikiran dan kreativitasnya. Hasil riset yang telah dilakukan menemukan
bahwa 'seorang ayah yang berhasil' mengetahui apa yang dilakukan oleh anaknya
ketika merasa sedih, menghadapi hari yang sulit, hal-hal apa saja yang membuat
anak mereka merasa senang, kelebihan dan kekurangan dari anak-anak mereka,
nama-nama teman anak mereka, dan lain sebagainya. Anda dapat mengenal anak Anda
dengan meluangkan waktu sejenak bersama dengan anak-anak Anda.
c.
Tidak Konsisten
Kadangkala orang tua sendiri tidak
konsisten dengan apa yang mereka katakan, sehingga gagal menegakkan aturan dan
norma kebenaran dalam rumah. Hari ini melarang, besok mengizinkan, atau ibu
melarang tetapi ayah memperbolehkan. Sehingga dalam rumah ada aturan ganda. Ada
dualisme yang membuat anak bingung harus melakukan yang mana. Bila orang tua
tidak konsisten, maka anak akan berpikir bahwa setiap aturan yang diterapkan
dalam rumahnya, tidak kuat dan gampang untuk dilanggar. Jangan biarkan mereka
memohon dan merengek menjadi senjata yang ampuh untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Orang tua harus tegas dan berwibawa dihadapan anak. Disamping
itu, bila kita membuat aturan, jangan pula kita yang melanggarnya. Seringkali
orang tua membuat aturan, ketika anak melanggar, orang tua menghukum, tetapi
ketika orang tua melanggar, siapa yang menghukum???
Sikap konsisten tidak hanya menyangkut aturan, tetapi juga janji-janji yang diucapkan kepada anak. Setiap janji harus ditepati, apapun konsekuensinya. Anak-anak di sekolah minggu diajari bahwa Janji Tuhan Ya dan Amin, artinya selalu ditepati. Darimana mereka belajar, penggenapan janji ini, kalau tidak dari orang tuanya. Bila ayah atau ibu suka mengingkari janji, maka gambaran anak akan Bapa di Sorga yang tidak pernah ingkar janji akan rusak. Sikap konsisten orang tua mengenai penegakan aturan dan ketepatan janji, akan membuat anak percaya pada orang tuanya. Tidak hanya takut dan hormat, tetapi akan bangga kepada ayah atau ibu yang bisa dipercayai.
Sikap konsisten tidak hanya menyangkut aturan, tetapi juga janji-janji yang diucapkan kepada anak. Setiap janji harus ditepati, apapun konsekuensinya. Anak-anak di sekolah minggu diajari bahwa Janji Tuhan Ya dan Amin, artinya selalu ditepati. Darimana mereka belajar, penggenapan janji ini, kalau tidak dari orang tuanya. Bila ayah atau ibu suka mengingkari janji, maka gambaran anak akan Bapa di Sorga yang tidak pernah ingkar janji akan rusak. Sikap konsisten orang tua mengenai penegakan aturan dan ketepatan janji, akan membuat anak percaya pada orang tuanya. Tidak hanya takut dan hormat, tetapi akan bangga kepada ayah atau ibu yang bisa dipercayai.
d.
Gagal Menjadi Teladan
Menurut psikiater Sara B. Miller,
Ph.D., perilaku yang paling berpengaruh merusak adalah “bertengkar” dihadapan
anak. Saat orang tua bertengkar di depan anak mereka, khususnya anak lelaki,
maka hasilnya adalah seorang calon pria dewasa yang tidak sensitif yang tidak
dapat berhubungan dengan wanita secara sehat. Orang tua seharusnya
menghangatkan diskusi diantara mereka, tanpa anak-anak disekitar mereka. Wajar
saja bila orang tua berbeda pendapat tetapi usahakan tanpa amarah. Jangan
ciptakan perasaan tidak aman dan ketakutan pada anak. Ini hanyalah salah satu bentuk
keteladanan orang tua kepada anak. Bentuk keteladanan yang baik dari orang tua
dibutuhkan dalam segala aspek perilaku dan perkataan. Orang tua ibarat guru:
digugu dan ditiru, kalau orang tua kencing berdiri, anak kencing berlari.
Artinya, apa yang kita teladankan, maka anak akan melakukannya lebih lagi. Kita
beri dia teladan buruk, maka ia akan berperilaku lebih buruk lagi. Bila kita
gagal memberi teladan yang baik kepada anak, maka bisa dipastikan, suatu saat
perilaku anak akan menjadi bumerang yang menyusahkan kita. Anak adalah peniru yang ulung. Anak
akan mengucapkan apa yang dia dengar dan melakukan apa yang dia lihat. Berilah
anak teladan yang baik dalam berbicara, dalam kesopanan dalam pengenalan akan
Tuhan, dalam doa, dalam ibadah, dll. Teladan kita lebih keras berbicara,
ketimbang perkataan kita. Berilah mereka teladan, maka mereka akan menirunya.
e.
Gagal Membina Cinta Kasih
Tunjukan kasih sayang Anda pada
istri di depan anak-anak. Perkataan dan tindakan yang berjalan bersama-sama
memberikan bukti yang menyakinkan bahwa ayah mencintai ibu dan semua berjalan
dalam satu kesatuan. Hal ini penting karena bagi anak seorang ayah merupakan
contoh seorang pemimpin yang patut ditiru. Cinta itu juga berarti menerima apa
adanya dan selalu bersedia mengampuni kesalahan orang lain. Di atas semua keteladanan dan
didikan kepada anak, letakkan dasar kasih. Dalam setiap ajaran, setiap hukuman,
setiap nasihat dan aturan, kita membutuhkan kasih. Hajarlah anak dengan kasih,
nasihati mereka dengan kasih, teladankan kepada mereka hubungan yang penuh
kasih dengan menunjukkan cinta kasih antara suami dan istri. Anak akan melihat
ayah mengasihi ibu, ibu mengasihi ayah, orang tua mengasihi anak, dengan
demikian mereka juga akan melakukannya dengan kasih.
Bila kita gagal membangun hubungan yang penuh cinta kasih ini, maka bisa dipastikan anak-anak akan tumbuh dengan hati yang luka dan pahit. Kekecewaan karena tidak menemukan kasih di rumah, maka mereka akan mencarinya di luar rumah. Dengan bergaul dengan komunitas yang mau menerima mereka, berpacaran, free sex, dan narkoba. Pelarian dari anak yang kurang mendapat perhatian dan cinta dari orang tuanya, lebih cenderung ke arah yang negatif dan merugikan diri si anak.
Oleh sebab itu, limpahilah anak-anak dengan kasih. Agar mereka tidak perlu mencarinya di luar rumah. Terima mereka apa adanya, agar mereka juga tidak perlu mencari penerimaan di luar rumah. Untuk membina cinta kasih yang sesungguhnya, bacalah dan lakukanlah I Korintus 13. Ini akan membuat hubungan antara ayah dan ibu jadi baik dan berdampak pada hubungan yang baik dengan anak dan orang tua.
Bila kita gagal membangun hubungan yang penuh cinta kasih ini, maka bisa dipastikan anak-anak akan tumbuh dengan hati yang luka dan pahit. Kekecewaan karena tidak menemukan kasih di rumah, maka mereka akan mencarinya di luar rumah. Dengan bergaul dengan komunitas yang mau menerima mereka, berpacaran, free sex, dan narkoba. Pelarian dari anak yang kurang mendapat perhatian dan cinta dari orang tuanya, lebih cenderung ke arah yang negatif dan merugikan diri si anak.
Oleh sebab itu, limpahilah anak-anak dengan kasih. Agar mereka tidak perlu mencarinya di luar rumah. Terima mereka apa adanya, agar mereka juga tidak perlu mencari penerimaan di luar rumah. Untuk membina cinta kasih yang sesungguhnya, bacalah dan lakukanlah I Korintus 13. Ini akan membuat hubungan antara ayah dan ibu jadi baik dan berdampak pada hubungan yang baik dengan anak dan orang tua.
2.
Tantangan dari lingkungan
Lingkungan di sekitar kita dan lingkungan
bergaul anak akan sangat berpengaruh kepada anak. Kecerdasan, mental dan
kerohanian anak lebih banyak ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada,
ketimbang sifat yang diturunkan oleh orang tuanya. Bila mereka hidup di
lingkungan yang baik, suka belajar dan bekerja, cinta Tuhan dan suka melayani,
maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang cerdas, cinta Tuhan dan peduli dengan
sesamanya. Tetapi coba kita biarkan anak kita
hidup di lingkungan orang-orang malas, tidak takut Tuhan, dan suka berbuat kejahatan,
maka bisa dipastikan, mereka akan menjadi anak yang berandalan, pemakai atau
bahkan pengedar narkoba dan hidup dalam kegagalan.
1.
Lingkungan Keluarga
Lingkungan yang paling utama itu
adalah keluarga. Sudahkah ayah dan ibu menjadi teladan yang baik? Sudahkah
seluruh orang dewasa dalam keluarga kita sehati dalam melakukan pendidikan dan
pembinaan kepada anak kita? Sudahkah keluarga menjadi tempat menyenangkan bagi
anak kita? Bila rumah dan keluarga kita adalah tempat menyenangkan bagi anak
kita, maka bisa dipastikan, mereka tidak akan mencarinya di luar rumah. Dan itu
artinya perkembangan pribadi anak akan mudah dikontrol.
2.
Masyarakat Di Sekitar Tempat Tinggal Kita
Perhatikan bagaimana
tetangga-tetangga di mana kita tinggal. Perhatikan bagaimana anak-anak kita
bergaul dengan mereka. Pengaruh apa yang paling banyak diterima anak kita dari
mereka? Bila pengaruh buruk yang lebih banyak ‘ditularkan’ maka orang tua harus
pandai-pandai mengatur waktu bermain mereka dengan anak-anak di sekitar kita.
3.
Lingkungan Sekolah
Di sekolah tidak hanya pengaruh baik
yang diterima anak. Tetapi ada juga anak-anak yang “nakal” dan suka
bicara/berlaku tidak baik. Pengaruh ini akan diserap anak dan akan dibawa
pulang. Itu sebabnya tidak heran ketika ada orang tua yang mengeluh ketika
anaknya “bicara kasar” atau “Ngomong jorok” di rumah. Padahal di dalam keluarga
tidak pernah ada yang mengajarkan demikian. Ada baiknya bila secara berkala
orang tua juga memonitor pergaulan anak dengan cara datang sendiri ke sekolah
dana memperhatikan bagaimana teman-teman bergaul anak kita di sekolah, atau
berkomunikasi dengan gurunya mengenai hal ini.
4.
Teman-Teman Bergaul Anak Kita
Selain teman di rumah, teman di
lingkungan kita, teman di sekolah, kadang-kadang anak-anak kita juga memiliki
lingkungan bergaul sendiri. Misalnya mereka memiliki kelompok belajar, kelompok
home schooling, kelompok kursus, kelompok band atau kelompok di gereja. Bila
hubungan orang tua dan anak saling terbuka dan saling percaya, maka hal ini
mudah dimonitor. Tetapi bila hubungan antara anak dan orang tua dalam “masalah”
maka pergaulan mereka akan sulit kita pantau. Tak heran bila suatu hari orang
tua mendapati anaknya berpenampilan “aneh”, merokok, atau bahkan menjadi
pecandu narkoba. Bila hal itu yang terjadi, maka sia-sialah semua ajaran yang
baik yang diajarkan di rumah, di gereja atau di sekolah. Ingat ayat ini: 1
Korintus 15:33 “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan
yang baik.”
Lalu
bagaimana agar anak-anak kita tidak terbawa pada pengaruh buruk pergaulan
mereka? Cara yang paling mudah tetapi tidak mudah memulainya adalah dengan
membangun mezbah keluarga. Pastikan selalu ada waktu untuk mezbah keluarga!
Sebab dalam mezbah keluarga ini kita bisa berbagi cerita dan saling terbuka
tentang kejadian-kejadian dalam keseharian kita dan anak kita. Di samping itu
kita bisa saling mendoakan di antara anggota keluarga. Dan dengan cara yang
tidak kita mengerti Doa itu akan memagari kita dan anak kita dari pengaruh
buruk dunia ini.
3. Perkembangan Anak Usia Dini
Banyak pendapat dan gagasan tentang
perkembangan anak usia dini, Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak
bayi lahir. Bayipun harus dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya,
suara-suara, benda-benda, diajak bercanda dan bercakap-cakap agar mereka
berkembang menjadi anak yang normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai
dengan tahun-tahun kelahiran sampai usia enam tahun biasanya menentukan
kepribadian anak setelah dewasa. Tentu juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat
orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena
perkembangan mental usia-usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak
boleh disepelekan. Pada tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode
sensitive atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu.
Sebagian besar anak-anak berkembang pada asa yang berbeda dan membutuhkan
lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.
Menurut Montessori, paling tidak ada
beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
1. Sejak lahir sampai usia 3 tahun,
anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat
“menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
2. Usia setengah tahun sampai kira-kira
tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan
bahasanya (berbicara, bercakap-cakap).
3. Masa usia 2 – 4 tahun,
gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan
maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada
benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore,
malam).
4. Rentang usia tiga sampai enam tahun,
terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan
indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada
usia 4 – 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.
Pendapat Mantessori ini mendapat
dukungan dari tokoh pendidkan Taman Siswa, Ki hadjar Dewantara, sangat meyakini
bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana kekeluargaan
dan dengan prinsip asih (mengasihi), asah (memahirkan), asuh
(membimbing). Anak bertumbuh kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan
kasih sayang, pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan
harmoni. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar dalam pendidikan, anak
memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan (mengembangkan) pikiran, pendidikan
untuk mencerdaskan hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang
meningkatkan keterampilan.
Tokoh pendidikan ini sangat
menekankan bahwa untuk usia dini bahkan juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan
pembelajaran dan pendidikan itu bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun
sekaligus alamiah seperti bermain di “taman”. Bagaikan keluarga yang sedang
mengasuh dan membimbing anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di
sebuah taman. Anak-anak yang mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab,
damai, baik di rumah maupun di sekolah, serta mendapatkan bimbingan dengan
penuh kasih sayang, pelatihan kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi
anak yang bahagia dan sehat.
4. Pembelajaran Pada Taman kanak-Kanak
Anak taman kanak-kanak termasuk
dalam kelompok umum prasekolah. Pada umur 2-4 tahun anak ingin bermain,
melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan
menciptakan sesuatu. Pada masa ini anak mengalami kemajuan pesat dalam
keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain. Seluruh
sistem geraknya sudah lentur, sering mengulangi perbuatan yang diminatinya dan
melakukan secara wajar tanpa rasa malu. Di taman kanak-kanak, anak juga
mengalami kemajuan pesat dalam penguasaan bahasa, terutama dalam kosa kata. Hal
yang menarik, anak-anak juga ingin mandiri dan tak banyak lagi mau tergantung
pada orang lain.
Sehubungan dengan ciri-ciri di atas
maka tugas perkembangan yang diemban anak-anak adalah:
- Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.
- Membangun sikap yang sehat terhadap diri sendiri
- Belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya
- Mengembangkan peran sosial sebagai lelaki atau perempuan
- Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan dalam hidup sehari-hari
- Mengembangkan hati nurani, penghayatan moral dan sopan santun
- Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, matematika dan berhitung
- Mengembangkan diri untuk mencapai kemerdekaan diri.
Dengan adanya tugas perkembangan
yang diemban anak-anak, diperlukan adanya pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan bagi anak-anak yang selalu “dibungkus” dengan permainan, suasana
riang, enteng, bernyanyi dan menari. Bukan pendekatan pembelajaran yang penuh
dengan tugas-tugas berat, apalagi dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan
pembiasaan yang tidak sederhana lagi seperti paksaan untuk membaca,menulis,
berhitung dengan segala pekerjaan rumahnya yang melebihi kemampuan anak-anak.
Pada usia lima tahun pada umumnya
anak-anak baik secara fisik maupun kejiwaan sudah siap untuk belajar hal-hal
yang semakin tidak sederhana dan berada pada waktu yang cukup lama di sekolah.
Setelah apada usia 2-3 tahun mengalami perkembangan yang cepat. Pada usia enam
tahun, pada umumnya anak-anak telah mengalami perkembangan dan kecakapan
bermacam-macam keterampilan fisik. Mereka sudah dapat melakukan gerakan-gerakan
seperti meloncat, melompat, menangkap, melempar, dan menghindar. Pada umumnya
mereka juga sudah dapat naik sepeda mini atau sepeda roda tiga. Kadang-kadang
untuk anak-anak tertentu keterampilan-keterampilan ini telah dikuasainya pada
usia 4-5 tahun.
Montessori memberikan gambaran peran
guru dan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kecerdasan, sebagai berikut:
a. 80 % aktifitas bebas dan 20 %
aktifitas yanag diarahkan guru
b. melakukan berbagai tugas yang
mendorong anak untuk memikirkan tentang hubungan dengan orang lain
c. menawarkan kesempatran untuk
menjalin hubungan social melalui interaksi yang bebas
d. dalil-dalil ditemukan sendiri,
tidak disajikan oleh guru
e. atauran pengucapan didapat
melalui pengenalan pola, bukan dengan hafalan setiap aspek kurikulum melibatkan pemikiran
Montessori, mengatakan bahwa pada
usia 3-5 tahun, anak-anak dapat diajari menulis, membaca, dikte dengan belajar
mengetik. Sambil belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis dan
membaca. Ada suatu penelitian di Amerika yang menyimpulkan bahwa kenyataannya
anak-anak dapat belajar membaca sebelum usia 6 tahun. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ada sekitar 2 % anak yang sudah belajar dan mampu membaca
pada usia 3 tahun, 6 % pada usia empat tahun, dan sekitar 20 % pada usia 5
tahun. Bahkan terbukti bahwa pengalaman belajar di taman kanak-kanak dengan
kemampuan membaca memadai akan sangat menunjang kemampuan belajar pada
tahun-tahun berikutnya.
Pendapat Montessori ini didukung
oleh Moore, seorang sosiolog dan pendidik, meyakini bahwa kehidupan tahun-tahun
awal merupakan tahun-tahun yang paling kreaktif dan produktif bagi anak-anak.
Oleh karena itu, sejauh memungkinkan, sesuai dengan kemampuan, tingkat
perkembangan dan kepekaan belajar mereka, kita dapat juga mengajarkan menulis,
membaca dan berhitung pada usia dini. Yang penting adalah strategi pengalaman
belajar dan ketepatan mengemas pembelajaran yang menarik, mempesona, penuh
dengan permainan dan keceriaan, enteng tanpa membebani dan merampas dunia
kanak-kanak mereka.
Salah satu hal yang dibutuhkan untuk
dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan anak adalah suasana keluarga dan
kelas yang akrab, hangat serta bersifat demokratis, sekaligus menawarkan
kesempatan untuk menjalin hubungan sosial melalui interaksi yang bebas. Hal ini
ditandai antara lain dengan adanya relasi dan komunikasi yang hangat dan akrab.
Pada masa usia 2 – 6 tahun, anak
sangat senang kalau diberikan kesempatan untuk menentukan keinginannya sendiri,
karena mereka sedang membutuhkan kemerdekaan dan perhatian. Pada masa ini juga
mencul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut pemenuhannya. Mereka terdorong
untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya dengan tujuan untuk
mengetahui sesuatu. Guru dan orang tua hendaknya memberikan jawaban yang wajar.
Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan
orang tuanya.
Perlu diingat juga bahwa minat anak
pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, karena itu guru dan orang tua harus
pandai menciptakan kegiatan yang bervariasi dan tidak menerapkan disiplin kaku
dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan berkembang
kecerdasannya dengan cepat kalau diberi penghargaan dan pujian yang disertai
kasih sayang, dengan tetap memberikan pengertian kalau mereka melakukan
kesalahan atau kegagalan. Dengan kasih sayang yang diterima, anak-anak akan
berkembang emosi dan intelektualnya, yang penting adalah pemberian pujian dan
penghargaan secara wajar.
Untuk memfasilatasi tingkat
perkembangan fisik anak, pada taman kanak-kanak perlu dibuat adanya arena
bermain yang dilengkapi dengan alat-alat peraga dan alat-alat keterampilan
lainnya, karena pada usia 2- 6 tahun tingkat perkembangan fisik anak berkembang
sangat cepat, dan pada umur tersebut anak-anak perlu dikenalkan dengan
fasilitas dan alat-alat untuk bermain, guna lebih memacu perkembangan fisik
sekaligus perkembangan psikis anak terutama untuk kecerdasan. Banyak penelitian menyatakan bahwa
orang-orang yang cerdas dan berhasil pada umumnya berasal dari keluarga yang
demokratis, suka melakukan uji coba, suka menyelidiki sesuatu, suka berpergian
(menjelajah alam dan tempat), dan aktif, tak pernh diam dan berpangku tangan. Ingat
keterampilan tangan adalah jendela menuju pengetahuan. Dalam proses
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba (trial
and error), mangadakan penyelidikan bersama-sama, menyaksikan dan menyentuh
sesuatu objek, mengalami dan melakukan sesuatu , anak-anak akan jauh lebih
mudah mengerti dan mencapai hasil belajar dengan mampu memanfaatkan atau menerapkan
apa yang telah dipelajari.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam mengimplementasikan konsep
Montessori terhadap program pendidikan bagi anak usia dini perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Kukrikulum pada pendidikan anak
usia dini didesain berdasarkan tingkat perkembangan anak.
2. Materi maupun metodologi
pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus
benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat
perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena
setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.
3. Kompetensi akademis merupakan
alat untuk mencapai tujuan,dan manipulasi dilihat sebagai materi yang berguna
untuk poengembangan diri anak, Montessori menganjurkan perlu adanya area
yang berbeda mewakili lingkungan yang disediakan, yaitu:
a. Practical life memberikan
pengembangan dari tugas organisasional dan urutan kognisi melalui perawatan
diri sendiri, perawatan lingkungan, melatih rasa syukur dan saling menghormati,
dan koordinasi dari pergerakan fisik,
b. The sensorial area membuat
anak mampu untuk mengurut, mengklasifikasi dan menerangkan impresi sensori
dalam hubungannya dengan panjang, lebar, temperatur, masa, warna, titik, dan
lain-lain.
c. Mathematics memanfaatkan
pemanipulasian materi agar anak mampu untuk menginternalisasi konsep angka,
symbol, urutan operasi, dan memorisasi dari fakta dasar
d. Language art yang di
dalamnya termasuk pengembangan bahasa lisan, tulisan, membaca, kajian tentang
grammar, dramatisasi, dan kesusesteraan anak-anak. Keahlian dasar dalam menulis
dan membaca dikembangkan melalui penggunaan huruf dari kertas, kata-kata dari
kertas pasir, dan berbagai prestasi yang memungkinkan anak-anak untuk
menghubungkan antara bunyi dan simbul huruf, dan mengekpresikan pemikiran
mereka melalui menulis.
e. Cultural activies membawa
anak-anak untuk mengetahui dasar-dasar geografis, sejarah dan ilmu sosail.
Musik, dan seni lainnya merupakan bagian dari kurikulum terintegrasi.
4. Lingkungan pendidikan anak usia
dini menggabungkan fungsi psiko-sosial, fisik dan akademis dari seorang anak.
Tugas pentingnya adalah untuk menyediakan dasar yang awal dan umum, dimana di
dalamnya termasuk tingkah laku yang positif terhadap sekolah, inner security,
kebiasaan untuk berinisiatif, kemampuan untuk mengambil keputusan, disiplin
diri dan rasa tanggung jawab anggota kelas lainnya, sekolah dan komunitas.
Dasar ini akan membuat anak-anak mampu untuk mendapatkan pengetahuan dan
keahlian yang lebih spesifik dalam kehidupan sekolah mereka.
B.Saran
Mendidik anak sejak usia dini adalah
PERINTAH mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, bila kita rindu anak-anak kita
dilindungi dari pengaruh jahat dunia ini dan menjadi anak-anak yang bisa kita
banggakan, maka tidak ada cara yang lebih baik selain membawa mereka kepada didikan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Atkitson, R.L., dkk. Introduction to Psychology.,
New York: Harcourt Brace Javanovich, Ich., 1983.
Henry N, Siahan., Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak,
Bandung: Angkasa , 1986
Steven Carr Reuben, Ph.D., Children of Character, a
parent guide, Santa Monica: Canter and Associates, Inc, 1997.
Theo Riyanto FIC., dkk., Pendidikan Pada Usia Dini.,
Grasindo, Jakarta, 2004
(Harizal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar