PERMASALAHAN
PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB I
PEMBAHASAN MASALAH
Dalam memetakan masalah pendidikan maka perlu
diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah
subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran
pendidikan sebagai sebuah subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan
salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek
eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya,
pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya. Sedangkan
pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di
dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara
internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan, berbagai
perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang
layak oleh berbagai stakeholder yang terkait.
2.1 Permasalahan
Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem
Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka
keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai
berikut: Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah
membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai
bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya
sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan
dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para
pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja.
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada
masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005)
yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA
dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya
perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),
Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan
mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu.
Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan
berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan
status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Kenyataan yang menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
merupakan jasa komoditas adalah data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang
menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa
berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut
riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota
se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban
biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak
langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah
dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65%
dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari
bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana
penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah
India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika
dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase
anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang
terendah. (www.worldbank.com)
Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang
berlandasakan sekulerisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura),
permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya di
dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam
pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat saat ini lebih kepada tujuan
untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang
tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (shaksiyah) yang utuh
berdasarkan pandangan syari’at islam). Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas
No.20/2003 pasal 3 yang menunjukan paradigma pendidikan nasional, dalam bab VI
menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP
No.19/2005, RUU Wajib Belajar dan RUU BHP.
Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan belajar siswa setelah
menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan
perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan
perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada tiga mata
pelajaran saja (Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang
ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah
(Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur
standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan
mutu pendidikan (Senin 12/2/07. www.indonesia.go.id).
Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (shaksiyah) yang utuh dalam diri
siswa, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu
proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar
kompetensi dan kelulusan siswa dalam PP No.19/2005).
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang di antara akibatnya
menjerumuskan para pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, perilaku
sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan berbagai tindakan kriminal
lainnya (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan) yang sering kita dapatkan
beritanya dalam tayangan berita kriminal di media massa (TV dan koran
khususnya), merupakan sebuah keadaan yang menunjukan tidak relevannya sistem
pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia
indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan
dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Psl.2 UU No.20/2003), karena realitas
justru memperlihatkan kontradiksinya. Siswa sebagai bagian dari masyarakat
mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka agar dapat
lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun karena
kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekuler,
ditambah lagi dengan proses pendidikan dalam satuan pendidikan dalam kerangka
sekulerisme juga, maka siklus ini akan semakin mengokohkan kehidupan
sekulerisme yang makin meluas.
Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang
oportunistik telah membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala
cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan eksekutif dan legislatif termasuk
dalam perumusan kebijakan pendidikan indonesia. Perumusan Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak
2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond
Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor
pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum
pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku
untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Selain itu dalam beberapa kebijakan operasional sisdiknas yang dikeluarkan
pemerintah ternyata kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak
sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering
terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan. Sebagai contoh kebijakan Mendiknas,
Bambang Sudibyo yang tetap melaksanakan UN pada tahun ajaran 2005/2006 ternyata
berkaitan dengan dana yang tersedia untuk program tersebut sangat besar,
padahal berbagai aliansi masyarakat telah mengajukan penolakan. Diantaranya,
Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP),
National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The
Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural
(KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia
(FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang
(FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education
Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No.
153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa
kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
Demikianlah uraian problematika pendidikan nasional yang ditinjau dari
eksistensinya sebagai suatu sub-sistem (sistem cabang) ternyata erat kaitannya
dengan pengaruh dari sub-sistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya,
ideologi, dsb). Sistem pendidikan nasional juga merupakan bagian dari
penyelenggaraan sistem kehidupan di Indonesia saat ini.
2.2 Permasalahan Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem
Kompleks
Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan
yang saat ini tengah berkembang diantaranya tergambar dengan pemetaan sebagai
berikut:
Sumber : Disdik Provinsi Jawa Barat (Makalah Seminar Pendidikan
Nasional-UPI Expo 2006)
Oleh karena itu, berdasarkan pemetaan di atas maka masalah pendidikan nasional dapat diuraikan sebagai berikut:
Oleh karena itu, berdasarkan pemetaan di atas maka masalah pendidikan nasional dapat diuraikan sebagai berikut:
2.2.1 Pemerataan Pendidikan
1. Keterbatasan Aksesibilitas dan
Daya Tampung
Gerakan wajib belajar 9 tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang
baru dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan
target tuntas pada tahun 2005, namun kemudian karena terjadi krisis pada tahun
1997-1999 maka program ini diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran program ini
berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005
adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan
antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk
kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada
tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target Direktorat
SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya
1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP baru mencapai 85,22%
yang menunjukan adanya selisih 9,78% dari target 95% sehingga perlu adanya
pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006
ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus
tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI
2006).
Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional
ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1)
anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700
orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang
pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia
7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini
pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib belajar akan berjalan
sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan
APK SMP pada akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen
dari 95 persen target yang dicanangkan pada 2008
(8/3/2007,www.tempointeraktif.com).
Kondisi ini sebenarnya belum menunjukan bahwa pemerintah telah berhasil
dalam menyelesaikan problematika aksesibilitas pendidikan secara tuntas, karena
indikator angka-angka di atas belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap
seluruh warga negara usia sekolah SD dan SMP.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004,
menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun adalah 96,77
persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48
persen. Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan dalam Laporan
Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan gejala serupa. Rasio
partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada
sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf.
(www.republikaonline.com)
2.2.2. Kerusakan Sarana/ Prasarana
Ruang Kelas
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan
sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana
mungkin proses pendidikan dapat berlangsung secara efektif?
Sebagai contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan
yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah
yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan
rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, SMP
sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas.
Menurut Kadisdik Jabar Dr. H. Dadang Dally, M.Si (PR,15/07/2005),
berdasarkan catatan beban Provinsi Jabar untuk setiap tahun kebutuhan biaya
menambah dan merehabilitasi bangunan SD/MI saja butuh dana sebesar Rp 251
miliar, terdiri dari penambahan ruang kelas sebanyak 792 ruang senilai Rp 31,6
miliar, rehab total ruang kelas sebanyak 4.317 ruang senilai Rp 129,5 miliar
dan rehabilitasi sedang ruang kelas sebanyak 6.045 sebesar Rp 90,6 miliar.
Kemudian kebutuhan biaya untuk mencegah dan menanggulangi DO pada tingkat SD/MI
sebesar Rp 149,8 miliar. Dengan demikian untuk biaya pembangunan dan
rehabilitasi ditambah penanggulangan drop out SD/MI saja setiap tahunnya
mencapai Rp 410 miliar. Sedangkan kemampuan anggaran pemerintah untuk
pembangunan pendidikan di Jabar hanya mampu untuk mengantisipasi kedua hal
tersebut. Adapun kemampuan daerah-daerah untuk pembangunan bidang pendidikan
setiap tahunnya hanya antara Rp 5 miliar sampai Rp 25 miliar, anggaran tersebut
hanya akan menjangkau kebutuhan minimal.
Klaim bahwa pemerintah daerah di lingkungan jawa barat memiliki kemampuan
yang terbatas dalam menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diungkapkan di
atas, tentu merupakan koreksi bagi pemerintah itu sendiri, yaitu mengapa selama
ini alokasi untuk program yang lain alokasinya cukup besar, tetapi untuk
program pendidikan jauh lebih kecil. Sebagaimana misalnya dalam APBD Kota
Bandung 2007 alokasi anggaran untuk sebuah tim sepakbola Persib Bandung yang
lebih bersifat hobi dan penghamburan ketimbang suatu program pembangunan besarannya
ternyata mencapai Rp 15 Milyar, bahkan jumlah tersebut masih dianggap kurang.
2.2.3.
Kekurangan Jumlah Tenaga Guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan,
merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian
oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini
jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat
kurang. sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja
menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa
kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering
dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan
nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna
mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk
sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6
ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah
ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin
bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas
pendidikan.
2.3 Pengelolaan
dan Efisiensi
Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan diantaranya dikelompokan
berdasarkan tiga hal yaitu:
2.3.1. Kinerja dan
Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh
pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan
pendidik. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei
FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005). Permasalahan
kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya
dalam melaksanakan proses pendidikan.
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam
penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan
menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak
untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment
yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam
bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar
dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk.
Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru
yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.
2.3.2 Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah
menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini
dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta
kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam
pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya
perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien
dalam proses pembelajaran. Berdasarkan standar yang ditetapkan di
atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan
pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional
sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien
Sudah selayaknya profesi
sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara
intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya
berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat
mengembangkan model-model
pembelajaran yang efektif,
inovatif, dan relevan.
3. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana
pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses
pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang
Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib
memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan,
buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain
yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan
berkelanjutan (ayat 1).
Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh
dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas,
melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah.
Dalam tahun 2007 ini, pemerintah melalui Ketua Satker Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi (PKPS) Dana BOS buku 2007 akan dicairkan karena dana BOS
buku tahun 2006 sudah terserap semuanya. Meski dalam pelaporan serapan dana BOS
buku 2006 belum masuk semua ke Satker PKPS BBM tingkat kabupaten/kota. Unit
cost untuk setiap siswa dari BOS buku ini Rp 22.000 yang diperuntukkan untuk
membeli satu buah jenis buku. Jadi kalau dijumlahkan dana BOS buku, baik untuk
siswa tingkat SD maupun SMP sekitar Rp 131,088 miliar lebih. Selain itu, buku
yang dibeli juga harus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah
melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005.
Jumlah penerbit yang telah mendapatkan sertifikat dan sesuai menurut
Permendiknas No. 11 Tahun 2005 sebanyak 98 penerbit dan ratusan judul buku.
Ke-98 penerbit tersebut jika dirinci, untuk penerbit buku matematika sebanyak
31 penerbit, bahasa Indonesia sebanyak 45 penerbit, dan bahasa Inggris sebanyak
22 penerbit (www. Klik-galamedia.com,
08 Februari 2007).
2.3.4.
Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana
mengacu pada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum
Pendidikan yang menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan
tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi
menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan
itu sendiri. Dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 RUU Badan Hukum Pendidikan
disebutkan bahwa Kemandirian dalam penyelengaraan pendidikan merupakan kondisi
yang ingin dicapai melalui pendirian BHP, dengan menerapkan manajemen berbasis
sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada
pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan dapat
menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitasnya.
2.3.5 Keterbatasan
Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan
sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan
anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal
49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).
2.3.6. Mutu SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya
seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara
langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu
dari SDM pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat
keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dam
sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga
akan berjalan lamban. Dengan memahami kerangka dasar
penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar
pengelolaan pendidikan secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme
tersebut, semisal adanya mekanisme MBS dan Otonomi PT sebagaimana disebutkan di
atas yang merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.
2.4 Relevansi pendidikan
2.4.1. Belum
Menghasilkan Life Skill Yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik
setelah menempuh suatu proses pendidikan. Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik,
satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik
diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata
pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia
dilakukan melalui: a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk
menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. b. Ulangan,
ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan
karakteristik materi yang dinilai.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life skill yang
diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang digunakan adalah penilaian-penilaian
di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa korelasi antara
proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal
yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan
berbagai masalah sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk
mempertanyakan hal ini.
2.4.2. Pendidikan Yang Belum
Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36
tentang Kurikulum menyebutkan:
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik.
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan
jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c.
peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi
daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan
dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan.
2.4.3 Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005
Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan
: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB II
PEMECAHAN MASALAH
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental.
Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara
menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi
paradigma Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah
mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan
diselesaikan, baik itu masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan,
pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan. Solusi masalah mendasar itu adalah dengan melakukan pendekatan sistemik
yaitu secara bersamaan melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan
sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif
dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami,
dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem
pendidikan yang materialistik juga dapat diubah menjadi pendidikan yang
dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya.
Perbaikan ini pun perlu dilanjutkan dalam perbaikan aspek formalitas, yaitu
dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah
islam.
Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU
Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan
(Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas
sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal
paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan
struktur kurikulum.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Kunjungan tim yang bersifat sporadis, tidak akan bisa menemukan
permasalahan (pendidikan) penduduk miskin yang sesungguhnya. Diperlukan suatu
tim yang bersifat permanen yang dikenal dan padu dengan dinas instansi terkait
baik di propinsi, kabupaten kota sampai ke kecamatan. Tim itu harus
berkemampuan untuk melakukan:
1. Pengamatan langsung dan kajian bersama yang
melibatkan: ahli pendidikan, tokoh masarakat
(pendidik) nagari, serta dialog dengan
kaum duafa, langsung.
2. Perumusan program Kurikulum
Muatan Lokal di sekolah, dan program pendidikan luar sekolah yang benar-benar berguna bagi penduduk
(miskin) yang bersekolah atau berdiam di Nagari Binaan. Walaupun memang tidak
semua rakyat nagari itu miskin, dan biasanya rakyat kaya memerlukan muatan
lokal dan program keterampilan yang berbeda dari kebutuhan mendesak rakyat
miskin.
3. Inisiasi pelaksanaan
pendidikan (kurikulum muatan lokal) serta diklat PLS , yang bersifat teknologi
terapan sederhana, yang terprogram dan terlaksana dengan rapi.
4.2 Saran
1. Agar keanggotaan tim
pembinaan tidak terlalu alir, sering gonta-ganti, dan setiap anggota tim yang turun ke negeri dapat
memberikan masukan yang jelas kepada leading sektor pembinaan. Akan lebih bagus
bila anggota tim pembinaan nagari itu dipikirkan untuk dijadikan ‘tim permanen
lintas sektoral’ yang menguasai permasalahan (kesehatan, pendidikan dan ekonomi kerakyatan), dengan
Surat Tugas dari Gubernur.
2. Harus ada komunikasi yang intense antara pemuka masyarakat dan pemerintahan
nagari dengan tim. Diperlukan pula forum pendiskusian berbagai alternatif
kegiatan, yang ditawarkan, untuk mengatasi berbagai masalah.
DAFTAR PUSTAKA
·
Al-Baghdadi,
Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil-Jatim:
Al-Izzah
·
Muhamad
Shidiq Al-Jawi. Pendidikan Di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Artikel. www.khilafah1924.org
·
Panduan
KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006.
·
Bulletin
Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar.
·
Blog: http://blog.appidi.or.id/?p=430;
makalah pendidikan tahun 2007
·
Blog:
http://dzarmono.wordpress.com/2007/06/11/makalah-pendidikan tahun 2008
·
Blog:
www.tyasmm84.blogspot.com/2008/01/profesi-teknologi-pendidikan.html
·
Harian surat Kabar Online: http://www.sergaponline.com/berita
·
Harian
Bisnis indonesia :
www.bisnis.com
·
Harian Kompas Online: www.kompas.com
·
Harian Pikiran Rakyat Online: http://www.pikiranrakyat.com
TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN
“ MASALAH PENDIDIKAN DAN
CARA PENANGGULANGANNYA “
DOSEN PEMBIMBING : Prof.Dr.Yohanes Bahari,M.Si
MAKALAH
Disusun Oleh :
ATUT KAMIL PRAGANA
F01110064
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2010